Berita Kalteng

Praktisi Hukum Sebut Konflik Agraria di Kalteng Tak Lepas dari Gratifikasi

Keterlibatan perangkat desa dan APH dalam konflik lahan membuat masyarakat tak bisa berbuat banyak dan kesulitan untuk menuntut hak plasma 20 persen.

Ahmad Supriandi/Tribunkalteng.com
WAWANCARA - Wawancara dengan Praktisi Hukum di Kalteng, Roy Sidabutar, Minggu (23/11/2025). 
Ringkasan Berita:
  1. Keterlibatan perangkat desa dan APH dalam konflik lahan itu membuat masyarakat desa tak bisa berbuat banyak, serta kesulitan untuk menuntut hak plasma 20 persen.
  2. Pemerintah daerah perlu mengambil sikap bagi perusahaan yang tak memberikan hak masyarakat.
  3. Pemerintah daerah melindungi masyarakat yang kerap menjadi korban konflik agraria.

 

TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKA RAYA -  Konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan besar swasta (PBS), khusunya perkebunan sawit yang terjadi di Kalimantan Tengah (Kalteng), tak lepas dari praktik gratifikasi.

Praktisi Hukum di Kalteng, Roy Sidabutar mengatakan, sengketa lahan hingga berujung pada konflik agraria juga tak lepas dari keterlibatan perangkat desa dan aparat penegak hukum.

"Kalau fakta yang saya temukan ya, di Kotim, Seruyan, Lamandau, faktanya itu kebanyakan bermain sama pemerintah desa dan sebagian bermain denyan APH," ungkapnya.

Baca juga: KLASEMEN Championship Hasil Akhir 1-1 Persiku Vs Persela, Joko Tingkir Gagal Salip Persipura

Baca juga: Warga Keluhkan Antre BBM di Palangka Raya, Suplai Lambat dan Isu Etanol Jadi Sebab

Baca juga: Resep Kue Nastar Untuk Perayaan Hari Natal 2025, Enak dan Mudah Dibuat

Keterlibatan perangkat desa dan APH dalam konflik lahan itu membuat masyarakat desa tak bisa berbuat banyak, serta kesulitan untuk menuntut hak plasma 20 persen.

Sekalipun ada mediasi dengan perusahaan, kata Roy, masyarakat juga tak bisa leluasa memberikan pandangannya terkait lahan plasma 20 persen karena dihantui ketakutan.

Karena itu, Roy menilai, pemerintah daerah perlu mengambil sikap bagi perusahaan yang tak memberikan hak masyarakat.

"Baru-baru ini Gubernur Kalteng menjembatani masalah plasma tersebut. Saya pribadi mendukung langkah itu," kata Roy.

Lebih lanjut, Roy juga menyoroti penertiban kebun sawit masuk dalam kawasan hutan di Kalteng, yang dilakukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).

"Kan di Kalteng banyak sekali itu," ucapnya.

Menurut Roy, pemerintah daerah pasti tahu permasalahan plasma 20 persen yang menjadi tuntutan masyarakat.

Ia menyebut, mestinya pemerintah daerah melindungi masyarakat yang kerap menjadi korban konflik agraria.

"Soal efek sosialnya, yang dikriminalkan karena masalah itu banyak. Yang jadi korban tetap masyarakat Kalteng," tegasnya.

Terbaru, Roy juga menangani konflik lahan antara masyarakat dan PBS di Kecamatan Menthobi Raya, Lamandau.

Ia menduga, kasus yang sedang didampinginya itu melibatkan aparat desa yang menjual tanah potensi desa.

"Waktu sidang saya tanya, apakah ada melihat izin perusahaan, dia jawab belum ada baru rencana izin," kata Roy.

Roy menilai, kejadian menunjukkan bahwa pengawasan pemerintah masih lemah terhadap praktik perusahaan yang ilegal.

Karena itu, Praktisi Hukum tersebut juga akan melaporkan dugaan gratifikasi pada perkara yang sedang ditanganinya kepada Kejati Kalteng.

"Karena saya pikir, jangan sampai warga desa yang dibodohi," tegas Roy Sidabutar.

(Tribunkalteng.com)

Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved