Kotim Habaring Hurung

Dinkes Gelar Pelatihan Pakai Aplikasi STIB Percepat Pencegahan Penanganan TBC di Kotim

Dinas Kesehatan Kotawaringin Timur gelar pelatihan penggunaan aplikasi Sistem Informasi Tuberkolosis (SITB) bagi petugas kesehatan seluruh Kotim

Penulis: Pangkan B | Editor: Sri Mariati
Tribunkalteng.com/Pangkan Bangel
Para peserta yang merupakan petugas kesehatan mengikuti pelatihan penggunaan aplikasi Sistem Informasi Tuberkolosis yang digelar oleh Dinkes Kotawaringin Timur, Jumat (23/8/2024). 

TRIBUNKALTENG.COM, SAMPIT - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kotawaringin Timur (Kotim) gelar pelatihan penggunaan aplikasi Sistem Informasi Tuberkolosis (SITB) bagi petugas kesehatan di Kotawaringin Timur, Jumat (23/8/2024).

Tepatnya di aula Dinas Kesehatan, Jalan Jenderal Soedirman, Mentawa Baru Ketapang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

Kegiatan pelatihan penggunaan aplikasi SITB tersebut dibenarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kotawaringin Timur, Umar Kaderi.

“Kegiatan pelatihan penggunaan aplikasi SITB tersebut diikuti pengelola program dan tenaga kefarmasian di Puskesmas, rumah sakit, dan klinik swasta se-Kabupaten Kotawaringin Timur,” jelasnya.

Kadinkes Kotim mengatakan sebelum itu telah dihadapkan dengan penyakit tuberkulosis dan sampai saat ini masih menjadi masalah global, termasuk Indonesia.

“Indonesia menjadi negara dengan penderita TBC nomor 2 terbesar di dunia, setelah India dan disusul dengan Cina,” jelasnya.

Hal tersebut menuntut perhatian serius kita bersama, mengingat penularan TBC mirip dengan Covid-19, yakni melalui droplet atau percikan dahak.

Kadinkes Kotim berharap penanganan TBC lebih cepat, karena penyebab TBC adalah bakteri, sedangkan Covid-19 penyebabnya adalah virus.

“Pencegahan TBC juga sama dengan Covid-19, yaitu memakai masker, cuci tangan dengan benar, berperilaku hidup bersih, dan sehat,” terangnya.

Lebih lanjut, Umar mengatakan jika terkena TBC, harus minum obat teratur selama sekitar 6 hingga 8 bulan.

Ia mengatakan bahwa permasalahan di masyarakat penderita TBC tidak mau periksa, tidak mau disebut TBC, serta tidak mau minum obat.

“Hal tersebut dikarenakan adanya stigma atau diskriminasi penderita TBC, baik di keluarga, masyarakat, maupun tempat kerja, selainwaktu minum obat yang cukup lama dan terkadang reaksi atau efek samping obat yang membuat penderita TBC enggan minum obat,” ujar Umar.

Di sisi lain, higienis dan sanitasi rumah penderita TBC rata-rata tidak memenuhi syarat kesehatan, sehingga sirkulasi udara di dalam rumah menjadi tidak sehat dan memungkinkan bakteri penular TBC dapat berkembang di lingkungan tersebut.

“Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 67 tahun 2021 tentang penanggulangan TBC, salah satu poinnya adalah melakukan eliminasi TBC atau pengurangan kasus  dan kematian akibat TBC ke tingkat yang sangat rendah pada 2030,” jelasnya.

Kadinkes Kotim mengatakan Pemkab mempunyai tanggung jawab agar tidak ada stigma atau diskriminasi terhadap penderita TBC.

Halaman
12
Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved