Kemendikbud Ristek Hapus Penjurusan SMA, Pengamat Pendidikan di Kalteng Sebut Kebijakan Ngawur

Ki Darmaningtyas menilai kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menghapus penjurusan IPA, IPS dan Bahasa merupakan kebijakan yang ngawur.

Penulis: Herman Antoni Saputra | Editor: Haryanto
ISTIMEWA
Pengamat pendidikan dari Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa, Ki Darmaningtyas. 

Sebagai contoh, lanjutnya, ada sekolah yang membagi dengan paket pelajaran yang kira-kira memang anak-anaknya akan kuliah di jurusan IPA, ada paket untuk menyiapkan mereka yang akan kuliah ke jurusan sosial humaniora.

"Akhirnya ya bohong-bohongan saja lah, karena hanya ganti istilah, dari jurusan menjadi paket. Ada paket kimia-biologi, ada paket fisika-matematika, ada paket kimia-fisika, paket sosiologi-ekonomi, geografi-ekonomi dan sebagainya, ditambah mata pelajaran umum," tuturnya.

Ia menilai dampak jangka panjangnya, siswa Indonesia akan semakin tertinggal dalam bidang ilmu dan teknologi.

Hal tersebut dikarenakan ilmu biologi, fisika, kimia dan matematika adalah dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sementara dengan dihapuskannya jurusan IPA-IPS makin sedikit murid-murid SMA yang mengikuti pembelajaran materi tersebut.

"Yang pastinya kemungkinan besar mereka akan memilih paket-paket yang mudah saja," jelasnya.

Lebih dalam, Ki Darmaningtyas menjelaskan Indonesia tidak dapat membandingkan dengan negara-negara maju lainnya karena Indonesia sendiri memiliki tingakat literasi dan numerasi yang rendah.

Sementara negara-negara maju memiliki tradisi literasi dan numerasi yang panjang dan sudah terbukti terdepan.

"Kesulitan bagi sekolah adalah menyiapkan tenaga pengajarnya bila setiap tahun yang kecenderungan memilih paket pembelajaran berubah-ubah," ucapnya.

Berbeda misalnya dengan adanya penjurusan, dapat diprediksi secara pasti kebutuhan gurunya, tergantung banyaknya kelas per jurusan yang akan dikembangkan.

"Jadi kebijakan penghapusan jurusan IPA, IPS dan Bahasa serta juga seleksi masuk PTN yang tidak memasukkan materi yang relevan dengan fakultas yang akan dimasuki adalah kebijakan yang populis, tapi tidak cerdas, karena tidak melihat sosio kultural dan politis di Indonesia," pungkas Darmaningtyas.

(*)

Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved