Blak-blakkan Alumnus MAN Kotim Kalteng, Satu Diantara Mahasiswa UIN Kalijaga usai MK Hapus PT

Enika Maya Oktavia, menjadi satu diantara empat mahasiswa yang jadi buah bibir perihal keputusan MK untuk menghapuskan Presidential Threshold (PT).

Editor: Haryanto
KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA
Empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menjadi pemohon judicial review ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold saat berfoto usai jumpa pers di Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Jumat (3/01/2025). 

TRIBUNKALTENG.COM - Enika Maya Oktavia, menjadi satu diantara empat mahasiswa yang jadi buah bibir perihal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapuskan Presidential Threshold (PT).

Presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang selama ini ditetapkan sebesar 20 persen, resmi dihapus MK dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024, Kamis (2/1/2025). 

Selain Enika Maya Oktavia, tiga mahasiswa lainnya yakni Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. 

Keempatnya merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Namun, satu diantara mahasiswa tersebut merupakan alumnus Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng).

Baca juga: Legislator Kalteng Teras Narang Angkat Bicara soal MK Hapus Ambang Pencalonan Capres Cawapres

Lalu, bagaimana kisahnya keempat mahasiswa tersebut mengajukan hingga PT dihapus?

Kepada Kompas.com, Enika Maya Oktavia blak-blakkan terkait hal tersebut.

Berawal dari Materi Debat di Bawaslu  

Keberhasilan keempat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga itu dalam meloloskan gugatan soal presidential threshold di MK tidaklah dirancang dalam waktu singkat. 

Salah satu mahasiswa yang mengajukan gugatan, Enika Maya Oktavia, mengaku telah mengkaji ihwal presidential threshold sejak 2023. 

Enika dan ketiga temannya itu tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK) di Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

Komunitas itu lebih banyak fokus pada kajian-kajian pendekatan konstitusi dan respons-respons isu ketatanegaraan. 

Di komunitas itulah, pengetahuan dan pemahaman mereka tentang isu presidential threshold terasah. 

Hingga akhirnya, mereka berkesempatan membawa materi tentang presidential threshold dalam debat yang diselenggarakan oleh Bawaslu RI. 

"Pada tahun 2023, tim kami, tim debat kami itu mengikuti debat Bawaslu RI yang memasuki ranah final, yang di mana pada 2023 tersebut final. Babak finalnya menggunakan mosi presidential threshold," tutur Enika dalam sesi konferensi pers di Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Suka Jogja, Sleman, Jumat (3/1/2025). 

Terinspirasi Keberhasilan Gugatan Almas Tsaqibbirru 

Enika dan teman-temannya mulai melihat adanya peluang untuk mengajukan gugatan terhadap materi Pasal 222 UU /2017 tentang presidential threshold, setelah MK mengabulkan gugatan mahasiswa Universitas Surakarta, Almas Tsaqibbirru, pada 2023 lalu. 

Gugatan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia capres-cawapres yang diajukan Almas dikabulkan oleh MK yang kala itu dipimpin Anwar Usman. 

MK mengabulkan sebagian permohonan Almas dalam UU Pemilu yang mengatur batas usia capres atau cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. 

Dikabulkannya gugatan Almas kemudian membuat Gibran Rakabuming Raka bisa berkompetisi di Pilpres 2024, meski saat itu ia baru berumur 36 tahun dan masih menjabat sebagai wali kota Solo.

Keberhasilan Almas itu kemudian membuka jalan bagi Enika dkk untuk mengajukan gugatan Pasal 222 UU 7/2017 soal presidential threshold ke MK. Menurut Enika, sebelumnyam uji materi Pasal 222 UU 7/2017 selalu kandas. 

Sebab, pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas hanyalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. 

Sementara itu, seorang warga negara yang memiliki hak untuk memilih, tidak memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review undang-undang pemilu. 

"Kita tidak punya legal standing ke MK. Tapi, kemudian muncul Putusan 90, putusan Almas yang menyatakan bahwa pemilih itu juga bisa punya legal standing," kata Enika. 

"Akhirnya, kami mulai men-draft atau kemudian menulis terkait dengan gugatan permohonan ini itu di awal atau pertengahan Februari (2024). Di sana kami mulai men-draft, kami mulai kemudian menulis gugatan permohonan-permohonannya," tutur dia menambahkan. 

Enika menilai, selama ini masyarakat atau pemilih seringkali hanya dianggap sebagai objek pelaksanaan demokrasi, bukan subjek. 

Oleh karena itu, banyak gugatan terkait pemilu yang diajukan masyarakat, berakhir kandas di MK. 

"Maka dari itu kami mencoba mengajukan dan kami berargumentasi di legal standing kami bahwa kami ini subjek demokrasi, bukan objek demokrasi. Maka legal standing kami seharusnya diterima," tegas dia. 

Jalani Tujuh Sidang hingga Gugatan Dikabulkan

Setelah menyusun draf bersama-sama, Enika dan keempat temannya lantas mengajukan gugatan terkait presidential threshold ke MK pada Februari 2024. 

Dari Februari 2024 hingga Januari 2025, keempat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga itu terus berproses di MK. 

Tak kurang tujuh kali sidang telah mereka jalani hingga akhirnya gugatan itu diterima MK. 

"32 putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya menyatakan tidak diterima dan ditolak pasal, ditolaknya permohonan-permohonan tersebut, kemudian di permohonan ke-33 ini, akhirnya Mahkamah Konstitusi dapat menguatkan keinginan dari masyarakat Indonesia itu sendiri," kata Enika. 

Rekan Enika, Tsalis Khoirul Fatna, yang turut mengajukan gugatan ke MK, mengatakan, mereka bahkan menjalani sidang-sidang tersebut tanpa didampingi pengacara. 

Beberapa kali mereka juga mengikuti sidang offine untuk memperjuangkan gugatan itu. 

Salah satunya adalah saat sidang mendengarkan keterangan ahli dari UGM (Universitas Gadjah Mada), Yance Arizona. 

"Kalau ditanya, apakah kami menggunakan kuasa hukum? Kami tidak menggunakan kuasa hukum, kami mahasiswa, belum mampu menggaet kuasa hukum. Kami bisa sidang online yang karena terbatas," kata Tsalis. 

Sempat Pesimistis 

Pada awalnya, Enika dan rekan-rekannya sempat pesimistis gugatan itu akan dikabulkan MK. Sebab, mereka baru kali pertama membuat draf permohonan yang asli. 

Saat membaca ulang draf yang sudah disusun, mereka juga merasa permohonan gugatan itu masih kurang bagus. 

"Untuk jawaban optimis atau tidak, jawab jujur, tidak optimis. Tentunya kemudian berbeda ketika kita ngedraft permohonan asli. Kami ketika kami baca permohonan kami kok jelek ya," kata Enika. 

Enika dan ketiga temannya pun sempat merasa peluang untuk sidang dilanjutkan ke pokok permohonan sangatlah kecil. 

"Nah, itu semuanya dikuliti oleh Yang Mulia, Pak Hakim Mahkamah Konstitusi. Kami selalu merasa wah ini ternyata change-nya untuk lanjut ke persidangan pokok permohonan saja seperti sangat kecil. Tapi Alhamdulillah, Alhamdulillah kemudian lanjut," ucapnya. 

Ajukan Gugatan demi Demokrasi 

Enika menegaskan, mereka mengajukan gugatan terkait presidential threshold tersebut murni demi menegakkan demokrasi. 

Dia menyatakan, gugatan itu dibuat bukan untuk memperjuangkan partai-partai kecil, melainkan demi menegakkan hak demokrasi setiap rakyat. 

Enika mencontohkan, dirinya ingin memilih seorang pemimpin yang peduli isu perempuan dan isu domestik, tapi faktanya tidak ada calon presiden sesuai kriterianya. 

"Nah, kalau pilihannya hanya terfokus atau terkotak pada partai-partai besar, dua tiga partai besar saja, chance atau kesempatan untuk adanya tokoh tersebut di sana sangat kecil," kata Enika. 

Enika menambahkan, gugatan itu mereka ajukan ke MK tanpa ada tekanan dan intervensi dari pihak mana pun. 

Gugatan itu murni mereka ajukan sebagai bentuk perjuangan akademik dan perjuangan advokasi konstitusional. 

Rekan Enika, Rizki Maulana Syafei, menandaskan, dikabulkannya gugatan yang mereka ajukan merupakan kemenangan demokrasi bagi masyarakat Indonesia. 

"Dan pelajaran yang pentingnya adalah kami sebagai pemilih mempunyai hak untuk memilih dengan preferensi calon-calon yang nantinya akan maju ke Pilpres, ataupun Pilkada, dan lain-lain," ucap Rizki.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Empat Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Gugat MK demi Hapuskan Presidential Threshold"

 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved