Berita Palangkaraya

BPS Catat Tren Penurunan Angka Perkawinan Anak di Kalteng, Tetap Perlu Perhatian Tekan Kasus

BPS Kalteng catat tren penurunan angka perkawinan anak di Kalteng dari urutan 2 hingga menjadi urutan ke 6 pada 2023, namun perlu perhatian kasusnya

Penulis: Anita Widyaningsih | Editor: Sri Mariati
Tribunkalteng.com/Anita Widyaningsih
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3APPKB) Provinsi Kalteng, Linae Victoria Aden. 

TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKARAYA - Dari data terbaru yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) memperlihatkan penurunan yang signifikan dalam kasus perkawinan anak.

Dalam laporan tersebut, Kalteng berhasil menurunkan angka kasus tersebut dari posisi ke-2 pada 2022 menjadi urutan ke-6 pada 2023. Penurunan, angka 10,94 persen masih menjadi perhatian serius.

Terkait dengn hal ini Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3APPKB) Provinsi Kalteng Linae Victoria Aden, menyatakan bahwa penurunan ini merupakan sebuah capaian yang patut diapresiasi.

"Penurunan ini menandakan adanya kesadaran dan kerja keras dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan pemerintah, dalam mengatasi masalah yang serius ini," jelasnya, belum lama ini.

Linae menjelaskan, bahwa kondisi geografis yang luas serta perbedaan kepadatan penduduk antar kabupaten dan kota di Kalteng menjadi salah satu faktor pemicu tingginya kasus perkawinan anak.

Namun, ia juga menyoroti bahwa semakin banyaknya kaum wanita yang berani bersuara, turut berkontribusi dalam pelaporan kasus-kasus tersebut.

"Masyarakat sudah semakin berani untuk melaporkan apabila ditemui kekerasan jadi kalau ditanyakan apakah terjadi peningkatan saat ini memang ada peningkatan karena masyarakat sudah berani untuk melaporkan," imbuhnya.

Ia jug menjelaskan, pemicu terjadinya perkawinan anak adalah sebuah masalah yang kompleks, yang melibatkan faktor budaya, ekonomi, dan sosial.

Meskipun Pemerintah Provinsi telah menganjurkan batasan usia menikah minimal 21 tahun bagi perempuan, tantangan demi tantangan masih tetaplah ada.

"Dampak dari kasus perkawinan anak dapat menyebabkan berbagai hal, seperti putus sekolah, memperburuk kemiskinan lintas generasi. Salah satu penyebab perkawinan anak adalah budaya rasa takut dari orang tua kepada anak jika diusia tertentu belum menikah khawatir dan menganggap perawan tua," ungkapnya.

Linae juga menekankan, pentingnya pola asuh yang tepat dalam sebuah keluarga, yang sangat berpengaruh pada pembentukan karakter generasi selanjutnya.

Baca juga: Pemprov Bekali Generasi Muda Kalteng Tentang Agama dan Pengetahuan Dampak Pernikahan Dini

Baca juga: Viral di Medsos, Potret Pengantin Baru Pernikahan Beda Usia 54 Tahun, Mirip Kakek Sama Cucunya

“Anak yang menikah pada usia yang belum matang secara fisik dan psikis belum mampu memberikan pola asuh yang tepat. Ini berdampak pada kesejahteraan generasi mendatang," tegasnya.

Dalam menghadapi tantangan ini, Linae menekankan perlunya kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai lembaga terkait untuk terus meningkatkan kesadaran akan pentingnya melindungi anak-anak dari praktek perkawinan usia dini.

Melalui pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, diharapkan masalah ini dapat terselesaikan dengan baik demi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. (*)

Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved