Berita Kotim

Penangkapan Tujuh Tersangka Penjarahan TBS Kelapa Sawit, Jadi Sorotan Anggota DPRD Kotim

Aksi penjarahan tandan buah segar atau TBS kelapa sawit di Kotim menjadi sorotan kalangan anggota DPRD Kotim. 

Penulis: Pangkan B | Editor: Fathurahman
Facebook SP Lumban Gaol untuk Tribunkalteng
Aksi penjarahan tandan buah segar atau TBS kelapa sawit di Kotim menjadi sorotan kalangan DPRD setempat. Anggota DPRD Kotim dari Komisi III , SP Lumban Gaol memberikan komentar terkait hal tersebut. 

TRIBUNKALTENG.COM, SAMPIT - Aksi penjarahan tandan buah segar atau TBS kelapa sawit di Kotim menjadi sorotan kalangan anggota DPRD Kotim setempat. 

Anggota DPRD Kotim dari Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kotawaringin Timur, SP Lumban Gaol beri komentar terkait penangkapan terduga pelaku penjarahan TBS kelapa sawit di Kotim tersebut, Rabu (17/4/2024).

Untuk diketahui Polres Kotawaringin Timur atau Polres Kotim, berhasil menangkap 7 terduga pelaku penjarahan TBS kelapa sawit, pada 6 April 2024.

Hal tersebut pun menyebabkan kerugian mencapai miliaran rupiah pada perusahaan yang diduga menjadi korban penjarahan.

“Atas penangkapan oknum masyarakat yang diduga memanen TBS dari milik corporasi menjadi perhatian serius bagi kita semua,” terang SP Lumban Gaol.

Ia mengatakan pada satu sisi dirinya tetap mendukung aparat penegak hukum (APH) untuk menindak segala bentuk kejahatan yang terjadi di wilayah Kotim.

“Namun di sisi yang lain, kita juga sangat memahami psikologis masyarakat saat ini. Kenapa saya katakan demikian bahwa sekarang masyarakat sudah terlalu sering merasakan ketidakadilan yang dipertontonkan oleh banyak pihak yaitu pemerintah daerah dan termasuk pemerintah pusat, dari pihak penegakan hukum baik aparat berwajib maupun peradilan,” ungkap Anggota Komisi III tersebut.

Lumban Gaol menjelaskan masyarakat sangat kerap dijadikan sebagai objek untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari pihak-pihak yang memiliki kewenangan.

Baik sebagai kewenangan pembuat kebijakan atau pun sebagai pemilik kewenangan penegakan hukum. 

“Istilah tajam kebawah tumpul ke atas semakin terbuka dipertontonkan pada masyarakat. Masyarakat sangat sulit ketika ingin mempertahankan haknya bahkan ketika melakukan perlawanan pun sangat sering mental dan tidak memiliki kekuatan apapun, baik dari sisi sumber daya manusianya dan juga kekuatan finansial sebagai biaya untuk melakukan urusan hukum untuk mendapatkan keadilannya,” ungkapnya.

Sehingga satu-satunya modal kekuatan yang bisa dan sering dilakukan hanyalah berontak yang akhirnya lagi-lagi melanggar hukum positif. 

“Pemanenan masal, penjarahan, pencurian atau apa pun namanya itu adalah akibat akumulasi kekecewaan atas keadilan yang tidak pernah didapatkannya, dan lagi lagi hanya itulah satu satunya kemampuan yang bisa dilakukan dengan modal kecil,” jelas Lumban Gaol.

Ia menjelaskan 20 tahun yang lalu sebenarnya semua pihak sudah memprediksi akan banyaknya kasus kasus seperti ini akan muncul dan sudah sering disampaikan pada diskusi-diskusi tidak resmi kepada pemerintah yang berkuasa, serta calon-calon pemimpin berikutnya pada masa itu. 

“Sampai saat ini selalu kita suarakan di forum-forum resmi, yaitu bahwa satu satunya cara adalah menegakkan aturan sesuai dengan aturan yang ada dan tidak ditafsirkan menurut kehendak sendiri,” ungkapnya.

Ia mengingatkan kewajiban plasma yang sudah pernah dibuat sejak dulu, selalu direvisi oleh pemerintah menuruti pesanan pemilik modal besar, sehingga hampir semua pelaku usaha berlindung disana dengan tafsir masing masing sesuai keinginan. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved