Pondok Konservasi Hutan Jerumbun Kobar
Tambang Ilegal, Kebakaran dan Pembukaan Kebun Sawit, Jadi Ancaman Kelestarian Hutan Jerumbun
Pondok Konservasi Kawasan Hutan Jerumbun biasa disebut Jerumbun berada di Desa Sekonyer, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar).
Penulis: Ahmad Supriandi | Editor: Fathurahman
TRIBUNKALTENG.COM, PANGKALAN BUN - Kawasan Pondok Konservasi Hutan Jerumbun biasa disebut Jerumbun berada di Desa Sekonyer, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) Kalimantan Tengah.
Kawasan Pondok Konservasi Hutan Jerumbun, dulunya sempat menjadi lokasi tambang rakyat atau lokasi pertambangan rakyat yang dilakukan secara illegal.
Sekira tahun 2005-2006 kawasan Hutan Jerumbun juga pernah mengalami kebakaran sehingga lokasi tersebut mengalami kerusakan cukup parah.
Menjadi lokasi tambang ilegal membuat hutan Jerumbun dalam kondisi mengkhawatirkan sebelum dijadikan lahan konservasi.
Baca juga: Wanto Orangutan Berumur 17 Tahun Tertua Dilepasliarkan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Katingan
Saat ini Jerumbun menjadi satu di antara lokasi konservasi yang ada di Kotawaringin Barat (Kobar).
Banyak cerita mengenai Jerumbun ini, ada yang mengatakan bekas lahan pertanian milik pejabat Kerajaan Kutaringin.
Ada juga cerita tentang sebuah rumah jaraknya sekira satu kilometer dari lokasi konservasi.
Dahulu warga Sekonyer menyebut rumah itu Jerumbun yang akhirnya dipakai sebagai nama pondok konservasi.
Jerumbun berada di Desa Sekonyer, Kumai, Kobar bersebelahan dengan wisata ikonik di Kalimantan Tengah yaitu Taman Nasional Tanjung Puting atau TNTP yang hanya terpisah oleh Sungai Sekonyer.
Berbeda dengan TNTP yang sudah jelas status kawasan konservasinya dan diakui negara, Jerumbun adalah lahan pribadi yang dibeli dari warga kemudian dijadikan lahan konservasi.
Lahan tersebut dibeli oleh sekelompok orang yang tergabung di lembaga non-pemerintah Friends of The National Forest Park (FNPF).
FNPF yang lahir pada 1997 di Desa Sekonyer, Kumai, Kobar memiliki tujuan awal untuk menyelamatkan orangutan.
Sekira tahun 2003 tujuan FNPF berkembang menjaga lingkungan serta melestarikan dan menghijaukan kembali hutan yang telah rusak seperti di Jerumbun.
Koordinator Restorasi FNPF, Basuki mengatakan, mulai membeli lahan di Jerumbun sejak 2008 dengan menggunakan uang swadaya bersama rekan-rekannya yang tergabung di FNPF.
Awalnya konservasi di Jerumbun bukan program resmi FNPF, melainkan inisiatif dari Basuki dan kawan-kawannya untuk menjadikan Jerumbun sebagai pondok konservasi.
Karena yang dilakukan Basuki dan rekan-rekannya sejalan dengan tujuan FNPF akhirnya sejak tahun 2013 konservasi di Jerumbun resmi menjadi program FNPF.
Hingga saat ini konservasi di Jerumbun sudah dikelola dengan baik oleh staff FNPF.
Saat pertama kali membeli lahan di Jerumbun Basuki menjelaskan kondisi yang mengkhawatirkan karena menjadi korban kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saat itu.
Tambang rakyat ilegal juga membuat kondisi hutan hijau di Jerumbun lebih parah.
"Saya bersama rekan-rekan pertama kali memikirkan untuk membeli lahan di sini tahun 2007 dan baru bisa membeli pada 2008," ucap Basuki, Rabu (21/2/2024).
Menjadi lokasi tambang ilegal dan kondisinya pasca kebakaran hutan membuat Basuki dan rekan-rekannya khawatir kerusakan hutan di Jerumbun akan berdampak pada satwa yang ada didalamnya.
"Bahkan mungkin kerusakan hutan di Jerumbun bisa berdampak pada manusia," jelas Basuki.
Saat dibeli oleh Basuki dan kawan-kawan, Jerumbun berstatus Area Pengunaan Lain (APL) dan terancam akan dibuka secara besar-besaran karena ada izin tambang di sekitar lokasi tersebut.
"Lokasi ini seperti benteng untuk ancaman tambang yang berizin maupun ilegal," jelas Basuki.
Basuki menambahkan, jika tidak dibeli dan digunakan untuk lahan konservasi mungkin Jerumbun akan dibuka untuk tambang.
Tak hanya itu kebun sawit juga menjadi ancaman yang membuat Basuki dan kawan-kawan membeli lahan di Jerumbun dan menjadikannya pondok konservasi.
Samsu atau Isam satu di antara rekan Basuki yang ikut membeli lahan di Jerumbun mengisahkan tentang bagaimana ia menjaga komitmen untuk mempertahankan hutan di Jerumbun.
Selain api dan hutan, Isam mengatakan kebun sawit juga menjadi ancaman Jerumbun.
Sekira 200 meter dari lokasi konservasi Jerumbun terdapat kebun sawit dan masih mungkin bertambah jika Jerumbun tidak dijadikan pondok konservasi.
"Selain menyelamatkan dari tambang, kami juga ingin menyelamatkannya dari pembukaan lahan untuk kebun sawit," ucap Isam.
Isam sejak pertama kali ikut membeli lahan di Jerumbun terus konsisten sedikit demi sedikit membeli lahan di Jerumbun dari warga.
Tentu bukan sesuatu yang mudah merestorasi hutan yang terbakar dan hancur akibat tambang ilegal ditambah lagi kala itu penebangan pohon secara ilegal masih marak terjadi.
Perlahan namun pasti Isam, Basuki serta rekan-rekannya di FNPF berhasil membuat kondisi hutan di Jerumbun jadi lebih baik bahkan kini Jerumbun tak hanya menjadi konservasi saja namun juga menjadi lokasi pendidikan konservasi.
"Kami terbuka dan sering menerima instansi maupun sekolah-sekolah yang tertatik dengan konservasi," jelas Basuki.
Terlihat di sekitar wilayah Jerumbun ada papan nama di sebelah bibit pohon yang baru di tanam. Papan nama itu bertuliskan nama lembaga, jenis pohon serta tanggal pohon tersebut ditanam.
Baca juga: Populasi Orangutan Kalimantan Tersisa 57.350 Individu, Alih Fungsi Hutan ke Perkebunan Jadi Ancaman
Tak hanya itu Jerumbun kini juga berkembang hingga memberikan dampak positif bagi warga Sekonyer.
Epep (27) warga Desa Sekonyer mengatakan sudut pandang warga Sekonyer terhadap kelestarian hutan perlahan berubah.
"Sekarang mereka lebih menyadari pentingnya menjaga hutan dan tidak melakukan kegiatan yang bisa merusak hutan," ungkap Epep.
Lanjutnya, Epep menjelaskan sejak Jerumbun dikelola oleh FNPF banyak warga yang terbantu perekonomiannya karena FNPF memberdayakan warga untuk ikut mengelola konservasi di Jerumbun.
"Yang dulunya bekerja sebagai tambang ilegal atau penebang pohon ilegal sekarang jadi punya pekerjaan tetap," ujar Epep.
Epep yang saat ini bekerja sebagai pemandu wisata mengaku merasakan dampak positif sejak FNPF mengelola konservasi di Jerumbun.
"Saya juga pernah menjadi relawan di Jerumbun, karena turis asing cukup sering berkunjung ke sini akhirnya saya jadi tertarik belajar bahasa asing dan bisa menjadi pemandu seperti sekarang," jelas Epep.
Epep mengakui jika bukan karena konservasi di Jerumbun ia tidak akan menjadi pemandu dengan pendapatan yang baik dan mungkin saja hutan di Jerumbun sudah rusak lebih parah karena tambang, karhutla dan penebangan pohon ilegal.
Berkat konsistensi Isam, Basuki dan rekan-rekannya di FNPF saat ini konservasi di Jerumbun sudah seluas 104 hektare.
Bahkan masih mungkin bertambah banyak mengingat masih ada hutan yang terancam dibabat oleh tambang milik perusahaan.
Isam serta Staff FNPF lainnya menyadari perjuangannya menjaga hutan di Jerumbun belum selesai hanya karena bisa membeli ratusan hektare lahan.
Seperti 2015 misalnya, kala itu terjadi kebakaran hutan besar di sejumlah wilayah Kalteng termasuk Jerumbun yang membuat seluruh wilayah konservasi.
Baca juga: Delegasi Kehutanan AS Ingin Adopsi Keberhasilan Indonesia Dalam Pemanfaatan Hutan dan Lingkungan
Staff FNPF bersama warga berjibaku mecoba menghalau api agar tak merembet lebih jauh.
"Karena kurang orang dan alat pemadam api, pohon-pohon yang kami tanam sempat habis," terang Isam.
Pada 2019 juga sempat terjadi karhutla di sekitar Jerumbun. Beruntung kali ini Staff FNPF dan warga lebih siap mengahalau api.
"Waktu itu sudah cukup orang jadi kebakaran bisa diatasi sebelum membakar lebih luas," terang Isam.
Isam menjelaskan harus konsisten menjaga konservasi di Jerumbun mengingat perannya sangat penting bagi manusia dan satwa di dalamnya.
Jerumbun hingga saat ini tak bisa dikatakan sudah aman karena masih terancam rusak.
"Sawit, api, tambang sampai sekarang masih menjadi ancaman," tukas Isam. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.