Kotim Habaring Hurung

Data Hot Spot Kotim, Kepala Pelaksana BPBD Sebut Januari Hingga September 2022 Lebih dari 70

Data hot spot Kotim, Kepala BPBD Sebut sejak Bulan Januari hingga September 2022 terdata Lebih dari 70 Muncul di wilayah Kotawaringin Timur.

Penulis: Devita Maulina | Editor: Fathurahman
Tribunkalteng.com / Devita Maulina
Kepala Pelaksana BPBD Kotim, Rihel, ketika ditemui di kantornya . Dia menjelaskan terkait data hot spot Kotim. Kepala Pelaksana BPBD Sebut sejak Bulan Januari hingga September 2022 terdata Lebih dari 70 Muncul di wilayah Kotawaringin Timur. 

TRIBUNKALTENG.COM, SAMPIT -Data hot spot Kotim, Kepala BPBD Sebut sejak Bulan Januari hingga September 2022 terdata Lebih dari 70 Muncul di wilayah Kotawaringin Timur.

Meski dilanda kemarau basah, titik panas atau hot spot tetap muncul di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) sepanjang tahun 2022 ini.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) lebih dari 70 hot spot telah terdeteksi dari bulan Januari hingga September 2022.

“Dari Januari sampai September ini sekitar 75 hot spot sudah terdeteksi, tapi lahannya tidak terlalu luas, dibawah 30 hektar,” beber Rihel, Kepala Pelaksana BPBD Kotim, Senin (26/9/2022).

Ia menjelaskan, hot spot yang dimaksud dalam hal ini mengarah pada kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi diKotim.

Baca juga: Warga Terdampak Banjir Kotim Dapat Bantuan, Gubernur Sugianto Serahkan 560 Paket Sembako

Baca juga: Narkoba di Palangkaraya, Budak Sabu Dibekuk Anggota Satresnarkoba Polresta di Jalan Kapur Naga

Baca juga: Pencurian di Palangkaraya, Pencari Barang Rongsok Diamankan, 8 AC Curian di Ruko Kosong Disita

Tidak termasuk kasus kebakaran yang terjadi di area permukiman warga, karena untuk kasus tersebut ditangani oleh Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan.

Sebagai wilayah yang diliputi hutan dan area perkebunan setiap tahun Kotim tak pernah luput dari adanya karhutla. Namun, menurutnya jumlah hot spot tahun ini jauh menurun dibanding tahun sebelumnya yang lebih dari 100 hot spot.

“Karena adanya kemarau basah dan hujan terus itu jadi terbantu, jumlah hot spot berkurang.  Tahun lalu lebih dari 100 kasus, kalau tahun sebelumnya lagi tak perlu ditanya bahkan bisa sampai ribuan,” ujarnya.

Pria yang pernah menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasat Pol PP) Kotim ini melanjutkan, dari 70 lebih hot spot yang terdeteksi tahun ini tidak semua merupakan kasus karhutla.

Ada beberapa merupakan kegiatan pembakaran kopra atau batok kelapa oleh masyarakat, seperti yang biasa dilakukan para petani kepala di Kelurahan Samuda Kota, Kecamatan Mentaya Hilir Selatan.

Hal ini lantaran, hot spot yang terdata ini merupakan deteksi dari satelit. Sedangkan, satelit hanya dapat mendeteksi adanya panas atau sumber api sesuai skala tertentu, tanpa membedakan antara kerhutla dengan aktivitas yang dilakukan masyarakat.

“Ada beberapa yang sebenarnya bukan karhutla. Contoh di Samuda Kota terdeteksi hot spot di pinggir jalan, biasanya itu ada warga yang membakar kopra. Kecuali kalau jaraknya 10-20 meter dari jalan baru ada potensi karhutla. Begitu kami membedakannya,” jelas Rihel.

Ia melanjutkan, penyebab karhutla umumnya disebabkan unsur kesengajaan. Pasalnya, hingga sekarang masih banyak warga yang menerapkan cara membakar untuk membuka atau mempersiapkan lahan pertanian sebelum memasuki musim tanam. Walaupun, sebenarnya cara ini sudah dilarang keras oleh pemerintah.

Ia menambahkan, salah satu kendala pihaknya dalam menangani hot spot ini karena sistem satelit yang agak lambat dalam memproses data.

Biasanya laporan hot spot baru muncul sehari setelahnya. Kecuali untuk kebakaran yang terjadi di area perkotaan, tim BPBD bisa mendapat informasi lebih cepat dari warga dan bisa segera meluncur ke lokasi.

Sumber: Tribun Kalteng
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved