Berita Palangkaraya

Hari Perempuan Internasional, Aksi Massa Soroti Pernikahan Dini Kalteng Urutan Dua se Indonesia

Gabungan elemen organisasi di Kalimantan Tengah (Kalteng) memperingati hari perempuan international di Taman Anggrek, Palangkaraya, Senin (14/3/2022).

Penulis: Lidia Wati | Editor: Fathurahman
Tribunkalteng.com/ Ghorby Sugianto
Margaretha Penanggung Jawab Aksi 

TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKARAYA - Gabungan elemen organisasi di Kalimantan Tengah (Kalteng) memperingati hari perempuan international di Taman Anggrek, Palangkaraya. 

Acara tersebut bertajuk Stop Kekerasan, Melawan Ketidakadilan dan Wujudkan Kedaulatan Atas Sumber Daya Alam. 

Dimana acara itu dikemas dalam bentuk pembacaan puisi, tarian, orasi dan pembagian kado kepada para peserta yang terdiri dari PMKRI, GMNI, Seruni, Walhi, Progress, Esbisquee, BEM Fisip UPR dan Mamut Menteng. 

"Acara ini dilaksanakan salah satunya karena melihat pernikahan dini di Kalteng menduduki posisi kedua di Indonesia, tentunya ini sangat berdampak kepada perempuan," kata Margaretha Winda, penanggung jawab aksi, Senin (14/3/2022).

Baca juga: Jenazah Meninggal Covid-19 di Palangkaraya, Keluarga Sempat Tolak Dimakamkan Sesuai Prokes

Baca juga: Harga Gas Elpiji Nonsubsidi Palangkaraya Tinggi, Masuk 5 Besar Penyumbang Inflasi di Kalteng

Baca juga: Berada Diurutan 15 Daerah di Indonesia, Pemprov Kalteng Terus Berupaya Tekan Angka Stunting

Menurutnya pernikahan dini membuat angka stunting tinggi, kasus perceraian, serta maraknya kekerasan kepada perempuan dari verbal hingga seksual.

"Saat ini masih banyak orang tua yang mendorong perempuan menikah di usia dini, persepsi mereka jika anaknya cepat menikah  masalah akan selesai. Justru akan menimbulkan masalah baru," tambah Margaretha. 

Dari tidak siapnya mental saat menikah, ekonomi, emosi, hak pendidikan, resiko bayi lahir stunting, ketidaksiapan reproduksi, resiko kematian ibu dan bayi saat melahirkan dan rumah tangga terancam tidak harmonis. 

Lebih lanjut, angka kekerasan kepada perempuan dan anak mencapai 20 persen sedangkan kekerasan kepada perempuan ibu rumah tangga mencapai 50 persen di Kalteng. 

Data tersebut yang membuat mereka turun untuk menggalang penyadaran bagi perempuan atau laki-laki agar mengetahui bahayanya pernikahan dini dan kekerasan kepada perempuan. 

Untuk terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi para perempuan tidak hanya laki-laki saja. 

"Bagi orang tua jangan sampai menikahkan anaknya dibawah umur, karena dampaknya sangat luas, bukan saja kekerasan seksual, karena akan berpengaruh pada anak yang dilahirkan, sehingga akan mempengaruhi SDM Kalteng masa depan," tegasnya. 

Margaretha bersama organisasi yang bergerak menyuarakan suara perempuan juga memiliki langkah konkret yaitu mendampingi korban kekerasan seksual di Kalteng, khususnya di daerah yang sulit dijangkau. 

Sementara itu Tri Oktaviani dari Walhi menuturkan kedekatan perempuan terhadap SDA sangat dekat. Karena perempuan lah yang pertama mengolah SDA menjadi makanan untuk anak-anaknya. 

Tidak hanya kekerasan seksual saja, namun ada kekerasan ekonomi jika hutan dibabat untuk perusahaan. Ibu-ibu akan merasakan kenaikan bahan pokok bahkan kelangkaan pangan yang berdampak pada nutrisi gizi anak yang diberikan. 

"Walhi, juga mencakup hak asasi manusia dan perempuan didalamnya. Maka dari itu penting menyuarakan suara perempuan," ungkap Oktaviani. 

Dia pun mendorong agar masyarakat tidak menjual tanah yang sebagai sumber kehidupan untuk kedaulatan pangan generasi selanjutnya. 

"Kami meminta kepada pemerintah yang memegang palu kekuasaan, segera sahkan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS)," pungkasnya. (*)

 

Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved