Begini Reaksi 2 Ketua MUI Terhadap Pengaturan Pengeras Suara di Masjid dan Musala oleh Menteri Agama

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala

Editor: Dwi Sudarlan
Tribunkalteng.com / faturahman
Masjid Kubah Kecubung Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Menteri Agama menerbitkan surat edaran tentang pengunaan pengeras suara di masjid dan musala. 

TRIBUNKALTENG.COM, JAKARTA - Surat Edaran Menteri Agama (Menag) tentang penggunaan pengeras suara di masjid dan musala menjadi perbincangan publik, begini saran Ketua Majelis Ulama Indonesia kepada Menag Yaqut Cholil Qoumas.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala saat azan, salat, maupun ibadah lainnya.

Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Menyikapai surat edaran yang kini menjadi perbincangan publik itu, Ketua MUI KH M Cholil Nafis menyarankan perlunya sosialisasi.

Baca juga: Korban Omicron Terus Bertambah, MUI: Penuhi Syarat Ini, Sholat Jumat Boleh Diganti Sholat Dzuhur

Baca juga: Mahasiswi Asal Murung Raya Kalteng Buang Jasad Bayi di Serambi Masjid Bantul, Ini Pengakuannya

Baca juga: Wali Kota Bandung Oded M Danial Meninggal Saat Akan Menjadi Khatib Sholat Jumat di Masjid Mujahidin

Dikatakan KH M Cholil Nafis yang juga Rais Syuriyah PBNU tersebut, penyebarluasan informasi mengenai Surat Edaran Menag tersebut dinilai sangat krusial agar tidak menimbulkan salah paham di tengah masyarakat.

Menurut dia, surat edaran itu sudah sangat relevan karena selama ini belum ada aturan mengenai penggunaan pengeras suara masjid selain azan.

Dikutip dari situs resmi Nahdlatul Ulama, KH Cholil Nafis menjelaskan, pengeras suara atau toa masjid merupakan bentuk syiar, asal dipergunakan tepat pada waktunya.

“Memang ada relevansinya berkenaan dengan pengeras suara; azan sama sekali tidak diatur (asalkan pada waktunya dan sesuai syariah), yang diatur adalah penggunaan pengeras suara untuk kegiatan, misalnya bacaan sebelum adzan atau tarhim,” katanya lewat keterangan yang diterima NU Online, Senin (21/2/2022).

Pendapat dia, penerapan aturan mengenai penggunaan pengeras suara di masjid perlu mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat sekitar yang tidak sama.

Misalnya, aktivitas pengeras suara sebelum adzan cukup dinikmati di pedesaan, berbeda bagi masyarakat perkotaan dengan tingkat heterogenitas tinggi.

“Ada bedanya perdesaan dan perkotaan. Bagi (masyarakat) pedesaan mereka menikmati sekali adanya tarhim, bacaan Al Quran yang lama. Tetapi untuk perkotaan, dengan heterogenitas dan pekerjaan yang cukup padat, sehingga mungkin akan cukup terganggu,” terang Kiai Cholil.

“Dan itu diperlukan sikap saling mengerti,” sambung Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah itu.

Surat edaran itu juga direspons oleh Ketua MUI Bidang Fatwa, H Asrorun Niam Sholeh.

Dalam penerapannya, kata dia, aturan itu tetap harus memperhatikan semua kearifan lokal dan tidak boleh digeneralisasi di semua wilayah di Indonesia.

“Jadi di dalam implementasinya, aturan ini harus memperhatikan semua kearifan lokal, tidak bisa digeneralisir,” tutur Ni’am, sapaan akrabnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun kaltara
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved