5 Terpidana di Kalteng Dapat Amnesti

Analisa Kritis Pengamat Hukum UPR soal Narapidana TPPO di Kalteng Terima Amnesti Presiden

Hilyatul juga mendorong agar pemerintah melakukan seleksi ketat, melibatkan publik, dan memastikan hak korban tetap terlindungi.

Penulis: Arai Nisari | Editor: Haryanto
Dokumen Pribadi Hilyatul Asfia untuk TribunKalteng.com
Pengamat hukum akademisi Universitas Palangka Raya (UPR), Hilyatul Asfia. Ia mendorong agar pemerintah melakukan seleksi ketat, melibatkan publik, dan memastikan hak korban tetap terlindungi dalam pertibangannya terkait pemberian amnesti. 

TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKA RAYA – Seorang warga binaan pemasyarakatan (WBP) kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Lapas Perempuan Kelas IIA Palangka Raya menerima amnesti Presiden RI berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2025.

Amnesti ini diberikan atas pertimbangan kemanusiaan karena narapidana tersebut menderita penyakit paliatif yang mengancam nyawa.

Narapidana tersebut adalah Pitna Wati binti Tino, yang sedang menjalani vonis tiga tahun penjara sesuai Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kalimantan Tengah, I Putu Murdiana, mengatakan pengusulan amnesti dilakukan sesuai prosedur setelah yang bersangkutan memenuhi syarat.

“Ini murni pertimbangan kemanusiaan dan sesuai prosedur. Semua tahapan kami lakukan secara transparan dan akuntabel,” ujarnya.

Baca juga: Direktur LBH Genta Keadilan Amnesti di Kalteng Rentan Picu Kecemburuan Sesama Narapidana

Kasus ini memunculkan pertanyaan publik terkait alasan pemberian amnesti bagi narapidana TPPO

Pengamat hukum Universitas Palangka Raya atau UPR, Hilyatul Asfia pun memberikan penjelasan.

Hilyatul menegaskan bahwa amnesti bukan hak otomatis yang dimiliki setiap narapidana.

“Amnesti diberikan Presiden dengan pertimbangan DPR, biasanya untuk kepentingan politik nasional atau alasan kemanusiaan. Jadi, hanya diberikan kepada narapidana dengan kasus berdampak luas atau kondisi tertentu yang membutuhkan penanganan khusus,” jelasnya, Rabu (6/8/2025).

Menurutnya, WBP kasus TPPO bisa menerima amnesti jika ada alasan kemanusiaan yang kuat, seperti kondisi kesehatan kritis, usia lanjut, atau keterlibatan yang sangat kecil dalam jaringan perdagangan orang.

Hilyatul juga menegaskan, kebijakan ini sejalan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM) dan tujuan pemasyarakatan.

“HAM menjamin hak atas kesehatan, bahkan bagi narapidana. Pemasyarakatan juga bertujuan membina, bukan sekadar menghukum. Tapi tetap harus selektif,” katanya.

Agar tidak menimbulkan salah persepsi di masyarakat, ia menekankan pentingnya transparansi pemerintah dalam menjelaskan dasar amnesti.

“Pemerintah wajib terbuka, jelaskan dasar amnesti, dan tunjukkan bahwa ini bukan pembebasan tanpa pertanggungjawaban. Edukasi publik adalah kuncinya,” tegas Hilyatul.

Meski demikian, ia mengingatkan risiko melemahnya efek jera jika amnesti diberikan sembarangan.

“Pelaku utama harus tetap dihukum tegas, sementara amnesti hanya untuk kasus yang sangat terbatas dan objektif,” ujarnya.

Hilyatul juga mendorong agar pemerintah melakukan seleksi ketat, melibatkan publik, dan memastikan hak korban tetap terlindungi.

“Transparansi dan akuntabilitas adalah benteng utama agar kepercayaan hukum tetap terjaga,” pungkasnya.

Sumber: Tribun Kalteng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved