Berita Palangkaraya

Tim Advokasi Solidaritas untuk Bangkal Kecam Vonis Ringan Terdakwa Iptu Anang Tri Widodo

Tim Advokasi Solidaritas untuk Bangkal mengecam putusan majelis hakim yang memvonis ringan pelaku penembakan di Desa Bangkal, Seruyan, Kalteng

Penulis: Ahmad Supriandi | Editor: Sri Mariati
Tribunkalteng.com/Ahmad Supriandi
Suasana lanjutan sidang kasus penembakan Bangkal di PN Palangkaraya, beberapa waktu lalu. 

TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKARAYA -Tim Advokasi Solidaritas untuk Bangkal mengecam putusan majelis hakim yang memvonis ringan pelaku penembakan di Desa Bangkal, Seruyan.

Putusan majelis hakim perkara nomor 55/Pid.B/2024/PN Plk memvonis bersalah terdakwa Iptu Anang Tri Widodo atau ATW anggota Yon A Pelopor Brimob Polda Kalimantan Tengah. Terdakwa divonis bersalah melanggar Pasal 359 KUHP dengan hukuman penjara selama 10 bulan.

Vonis yang dinilai ringan ini menuai banyak protes mengingat perbuatan terdakwa menyebabkan satu korban meninggal dunia dan satu lainnya mengalami luka berat.

Selain peradilan yang sejak awal memang dirancang untuk gagal (intended to fail), putusan ini mencerminkan betapa buruknya penegakan hukum terhadap anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran hukum dan HAM serius.

Sebelumnya, pada 7 Oktober 2023 masyarakat adat dari Desa Bangkal Seruyan, Kalimantan Tengah melakukan penyampaian pendapat dimuka umum guna menuntut hak kepada PT Hamparan Masawit Bangun Persada atau PT HMBP.

Aksi yang semula damai tersebut kemudian berubah menjadi malapetaka ketika pasukan kepolisian yang dipersenjatai dengan gas air mata serta peluru tajam menembak serta mengarahkannya ke massa aksi.

Akibatnya, satu orang bernama Gijik meninggal dunia di tempat dan satu lainnya yakni Taufik mengalami luka berat.

Selama proses peradilan berjalan, Tim Advokasi Solidaritas untuk Bangkal melakukan pemantauan proses peradilan terhadap terdakwa Iptu ATW.

Andrie dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengatakan pihaknya memantau langsung proses peradilan. Dalam pemantauan tersebut, Tim Advokasi Solidaritas untuk Bangkal menemukan sejumlah fakta dan keganjilan atas proses hukum terhadap terdakwa.

"Setidaknya ada delapan fakta yang menjadi sorotan kami selama proses peradilan," kata Andrie, Kamis (13/6/2024).

Pertama, pasal dalam Dakwaan Jaksa menihilkan pasal pembunuhan berencana. Tim JPU mendakwa Iptu Anang Tri Widodo dengan dakwaan menggunakan Pasal 351 (3), 351 (2), dan 360 KUHP.

"Penggunaan pasal-pasal tersebut kami yakini dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk menuntut ringan Terdakwa," jelas Andrie.

Sebelumnya penerapan pasal-pasal janggal ini telah keluarga dan tim advokasi prediksi sebelum berkasnya dilimpahkan ke PN Palangkaraya. Pada 1 Desember 2023, keluarga korban dan tim advokasi mengirimkan surat ke Kejati Kalteng agar JPU memasukan Pasal 340 jo 338 KUHP dan disertai dengan bukti video yang merekam adanya perintah dari arah aparat keamanan berupa “bidik kepalanya, bidik kepalanya”.

Kemudian pada 14 Maret 2024, surat dengan substansi serupa dikirimkan kembali ke Kejati Palangka Raya. Hingga agenda pembacaan surat dakwaan yang dilakukan pada 26 Maret 2024, pasal pembunuhan berencana urung dimasukan ke dalam dakwaan JPU.

Kedua, konflik kepentingan kuasa hukum terdakwa yang merupakan anggota Polri aktif berasal dari Bidkum Polda Kalteng.

"Kejanggalan lain yang kami temui selanjutnya adalah keterlibatan Bidang Hukum Polda Kalteng sebagai Tim Penasihat Hukum Terdakwa Iptu Anang Tri Widodo," lanjut Andrie.

Andrie menegaskan, kejahatan yang dilakukan Iptu Anang Tri Widodo dengan menembak demonstran dalam aksi damai telah mencoreng institusi Polri sendiri, apa yang dilakukan terdakwa juga merupakan bentuk pelanggaran UU 2/2002 tentang kepolisian.

"Terlibatnya anggota Polri aktif sebagai kuasa hukum jelas telah menimbulkan konflik kepentingan dalam membongkar fakta peristiwa yang terjadi secara tuntas," sambungnya.

Terlebih, proses hukum di tingkat penyidikan seperti penetapan status tersangka, pemeriksaan dan penahanan dilakukan oleh institusi kepolisian Polda Kalteng.

Ketiga, perbuatan penembakan yang dilakukan oleh Iptu Anang Tri Widodo telah direncanakan dan bersesuaian dengan alat bukti serta keterangan ahli di pengadilan.

Fakta persidangan telah terungkap bahwa peluru tajam yang digunakan oleh Iptu Anang Tri Widodo telah dipersiapkan jauh sebelum tiba di lokasi penembakan.

Terdapat tiga jenis magasin bertanda khusus yang dibawa Iptu Anang Tri Widodo, yakni magasin dengan tanda merah berisi 20 peluru hampa, magasin hijau berisi 17 peluru karet dan 3 peluru hampa, dan magasin kuning berisi 16 peluru tajam.

Iptu Anang Tri Widodo yang dibekali senapan serbu jenis AK-101 bernomor seri 161216553 kemudian menembak menggunakan magasin kuning dengan jarak tembak 96,8 meter ke arah Almarhum Gijik dan Taufik.

Keterangan Ahli balistik Sopan Utomo yang dihadirkan menyatakan bahwa jarak tembak efektif senjata AK-101 ini berjarak 500 meter.

Jika kemudian jarak tembaknya 96,8 meter maka dapat dipastikan akan menembus objek sasaran dan laju proyektilnya baru berhenti jika menabrak benda keras.

"Jika dikaitkan dengan fakta temuan investigasi, terdapat keterangan saksi bahwa ketika terdengar letusan senjata api terlihat Alm Gijik dan Taufik jatuh tersungkur secara bersamaan," kata Andrie.

Keempat, tim penyidik Polda Kalteng telah gegabah dan tidak profesional dalam menyimpan alat bukti.

Fakta ketidakprofesionalan penyidik polisi terungkap dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan ahli Deoxyribonucleic Acid (DNA) Setia Betaria Aritonang.

Ahli menyatakan bahwa terdapat sampel darah yang terdapat dalam sebuah batu. Namun, ketika hendak diperiksa sampel darah tersebut mengalami kerusakan/pembusukan karena akibat tim penyidik menyimpannya tidak sesuai standar operasi prosedur.

"Hal ini tentu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana melanggar Pasal 233 KUHP tentang pengrusakan barang bukti. Tak hanya itu, ketidakprofesionalan penyidik tersebut telah melanggar aturan internal kepolisian seperti Perkap 8/2014 tentang Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Polri dan Perkap 6/2019 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana," ujar Andrie.

Kelima, instruksi tembak dan bidik kepala terbukti berasal dari anggota kepolisian. Pada 28 Mei 2024, sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi yakni Ampi Mesias Von Bulow yang merupakan mantan Kapolres Seruyan.

Dalam keterangannya, Ampi membenarkan bahwa terdapat instruksi “bidik kepalanya” yang keluar dari barisan aparat kepolisian.

Hal ini kemudian juga memicu tindakan penembakan yang dilakukan oleh Iptu Anang Tri Widodo didahului atas perintah.

Oleh karena fakta tersebut, hemat kami unsur dengan rencana dalam ketentuan Pasal 340 KUHP semestinya terpenuhi.

Terlebih jika ditautkan dengan hasil investigasi terdapat perintah persiapan yang juga terdengar dari mobil komando aparat kepolisian.

Keenam, terdapat pengerahan kekuatan secara berlebihan dengan menerjunkan pasukan Gegana dalam menghadapi demonstran.

"Perlu ditegaskan bahwa Pasukan Gegana memiliki tugas khusus sebagai penindak gangguan Kamtibmas berkadar dan berintensitas tinggi khususnya kejahatan terorganisir yang menggunakan senjata api, bom, bahan kimia, biologi, radioaktif, dan perlawanan teror," tegas Andrie.

Andrie menambahkan hal tersebut berarti, aksi demonstrasi damai yang dilakukan oleh warga masyarakat adat Bangkal ini secara tak langsung distigmatisasi berbuat tindakan teror oleh pasukan keamanan.

Ketujuh, Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim Tidak Mempertimbangkan Permohonan Restitusi LPSK.

Baca juga: Ketua GMNI Palangkaraya Soroti Vonis Hakim Terdakwa Kasus Bangkal Dinilai Tak Berpihak ke Masyarakat

Baca juga: Kuasa Hukum Penembakan Warga Bangkal Seruyan, Pertanyakan Pertimbangan Vonis Hakim Meringankan

Baca juga: Tok, Hakim Vonis Penembakan Bangkal Seruyan Hanya 10 Bulan Penjara, Massa dan Keluarga Murka

Selain vonis ringan yang dibacakan majelis hakim, putusan tersebut juga syarat permasalahan karena tidak sama sekali mempertimbangkan surat resmi lembaga negara dengan nomor A.1663/R/KEP/SMP-LPSK/VI tahun 2024 tentang Penilaian Ganti Rugi.

Atas fakta-fakta tersebut kami menilai proses peradilan hingga putusan yang telah dibacakan ini menunjukan precedent buruk bagi penegakan hukum dan HAM, terlebih lagi vonis yang dijatuhkan hanya 10 bulan.

Proses penegakan hukum yang telah berjalan memperkuat indikasi peradilan sesat (malicious trial process) terhadap terdakwa yang diadili.

"Selain itu, kami turut juga melihat bahwa tidak adanya keseriusan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam mengembangkan kasus dengan menjerat keterlibatan pelaku lain termasuk pelaku level atas (actor high level)," tutup Andrie. (*)

Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved