Berita Palangkaraya

Rencana Pengembangan Padi Sawah di Kalteng, Akademisi Hukum UPR Sebut Wajib Perhatikan AMDAL

Rencana kerjasama Indonesia-China soal pengembangan padi sawah di Kalteng mendapat kritika dari akademisi UPR sebut wajib adanya AMDAL

Penulis: Ahmad Supriandi | Editor: Sri Mariati
FOTO HUMAS PEMPROV KALTENG
Eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo dan Gubernur Kalteng, H Sugianto Sabran, saat melakukan penanaman padi di Kabupaten Pulang Pisau, beberapa waktu lalu. Rencana pengembangan China di sektor pertanian di Kalteng. 

TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKARAYA -Rencana kerjasama Indonesia-China soal pengembangan padi sawah di Kalteng, terus mendapat sorotan dari berbagai pihak dengan berbagai latar belakang termasuk dari pakar hukum.

Pakar Hukum yang juga Akademisi Universitas Palangkaraya (UPR), Hilyatul Asfia juga menyoroti rencana pengembangan padi sawah di Kalteng yang disampaikan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, beberapa waktu lalu.

Asfia mengingatkan rencana tersebut perlu memperhatikan Permen LHK Nomor 4 Tahun 2021.

"Dalam aturan tersebut terdapat beberapa jenis usaha yang wajib Amdal salah satunya dalam sektor pertanian misalnya padi hibrida," ujar Asfia saat dihubungi Tribunkalteng.com, Selasa (30/4/2024).

Menurutnya, ketertarikan negeri Tirai Bambu itu yang hendak melakukan investasi di Kalteng merupakan kesempatan untuk merealisasikan Kalteng sebagai lumbung pangan dan energi.

Hal tersebut sesuai dengan amanat Peraturan Daerah Provinsi Kalteng tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi nomor 15 tahun 2015.

Asfia berharap, kegagalan yang pernah dialami sebelumnya menjadi pelajaran dan peringatan bagi pemerintah, agar dalam pelaksanaan pengembangan padi sawah ini dilakukan secara profesional, terukur, dan bermanfaat.

"Jangan melupakan praktik historis yang ada bahwa kita pernah melakukan pengelolaan lahan di masa Presiden Soeharto dan hal tersebut justru tidak memberikan dampak yang bagus," ucap Asfia.

Keberhasilan dalam memastikan ketersediaan beras sebagai kebutuhan pangan telah menjadi pilar utama dalam mencapai ketahanan pangan nasional.

"Hal ini tidak hanya berdampak pada aspek pangan semata, tetapi juga memiliki implikasi yang luas terhadap stabilitas sosial, ekonomi, politik, serta keamanan nasional," jelas Asfia.

Asfia menjelaskan, dalam perspektif kacamata hukum Pemprov Kalteng maupun Pemerintah Pusat dalam melakukan realisasi investasi ini perlu memperhatikan komposisi kepemilikan modal asing yang harus dipertimbangkan.

Pemerintah juga perlu memperhatikan Lampiran 2 Perpres nomor 44 Tahun 2016 yang menyebutkan, pada penanaman modal daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan yang dicadangkan atau kemitraan dengan UMKM serta Koperasi.

"Diperkuat dengan daftar Negatif Investasi berdasarkan Perpres nomor 44 Tahun 2016 adalah meningkatkan porsi kepemilikan modal asing menjadi mayoritas, bahkan hingga 100 persen, salah satunya yaitu pada Usaha Perkebunan yang masih tetap tinggi sebesar 95 persen yang terintegrasi dengan unit pengolahan dengan kapasitas sama atau melebihi kapasitas tertentu," ungkap Asfia.

Proporsi kepemilikan saham asing sebanyak 95 persen bertentangan dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 33 Undang-undang nomor 20 Tahun 2008 mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU UMKM).

"Jika kita melihat dari perspektif hukum ekonomi, sektor UMKM dengan proporsi unit usaha terbesar adalah sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan, mencapai 48,85 persen," kata Asfia.

Baca juga: Rencana Pengembangan Teknologi Padi Sawah Dengan China, Petani Kalteng Sebut Sangat Beresiko

Baca juga: WALHI Soroti Risiko Kerusakan Ekosistem Gambut, Kembangkan Padi Sawah di Kalteng oleh China

Halaman
12
Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved