Gus Miftah Sebut Subsidi Silang & Selalu Bawa Banyak Uang Soal Isu Tarif Dakwah Capai Rp 3 Miliar

Menurut Gus Miftah, ada beberapa pihak seperti orang kaya maupun instansi tertentu, memiliki budget dalam mendatangkan tamu

Editor: Dwi Sudarlan
Grid.ID | Rissa Indrasty
Gus Miftah bersama Deddy Corbuzier yang dibimbingnya menjadi seorang mualaf 

Meskipun, ia menegaskan tidak ada larangan untuk memasang tarif untuk dakwah, tetapi hendaknya menghindari komersialisasi tersebut.

Menurutnya, pemasangan tarif kaitannya dengan kebiasaan yang berlaku. Semestinya, iltizam dini atau ketaatan terhadap syariat, dengan tidak mengedepankan tarif, lebih ditekankan oleh yang bersangkutan. Kalaupun hendak memasang tarif, sewajarnya saja. “Masyarakat punya penilaian tersendiri,” katanya.

Gus Miftah, sosok pendakwah fenomenal yang kerap berdakwah di klub malam
Gus Miftah, sosok pendakwah fenomenal yang kerap berdakwah di klub malam (Kolase Sripoku.com)

Komersialisasi

Sementara Ketua Lajnah Bahtshul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU) KH Zulfa Mustofa menyatakan, menurut perspektif agama, secara etika seorang ulama tidak boleh meminta bahkan memasang tarif.

Memang, mayoritas ulama memperbolehkan penerimaan upah dari pengajaran ilmu agama, tetapi tidak dengan cara mematok tarif.

“Tidak pantas meminta apa pun alasannya,” ujar alumnus Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa Tengah, asuhan KH Sahal Mahfuz tersebut.

Menurutnya, komersialisasi itu tak terlepas dari pengaruh media, terutama televisi. Tingkat rating akan dijadikan alasan untuk meningkatkan tarif dakwah seseorang. Padahal, sikap semacam ini bisa mengancam kekekalan pahala.

Ia pun teringat nasihat Sang Guru, KH Sahal Mahfuz yang berpesan, 'Allim majjanan kama ‘ullimta majjanan (Ajarkanlah ilmu secara ikhlas, sebagaimana engkau dididik secara gratis). Tak lupa, ia sampaikan ajakan agar para ulama mengingatkan oknum pendakwah manapun yang mematok tarif.

Fikih klasik

Dalam kajian fikih klasik, rujukan persoalan ini bermuara pada topik pengambilan upah atas pengajaran Alquran. Menurut kelompok yang pertama, tidak boleh menerima atau membisniskan pengajaran ilmu agama tak terkecuali Alquran.

Opsi ini berlaku di sejumlah mazhab, antara lain Hanbali di salah satu riwayat, Zaidiyyah, dan Ibadhiyyah. Sedangkan, Imamiyyah melihat hukumnya makruh selama ada syarat sejak awal.

Pihak ini berdalih, mengajarkan ilmu syariah dan Alquran merupakan bakti yang tak berpamrih, hanya Allah SWT-lah yang akan membalasnya. Kebutuhan akan pelajaran ilmu agama dan Alquran sama pentingnya dengan urgensi mengajarkan shalat. Berbagi ilmu shalat merupakan hal mendasar, tak boleh diperjualbelikan.

Ini ditegaskan di banyak ayat, seperti surah an-Najm ayat 39, al-Qalam ayat 46, dan Yusuf ayat 104. Pandangan ini diperkuat oleh hadis riwayat Ubay bin Ka’ab.

Dalam sabda itu, Rasulullah SAW memperingatkan seorang sahabat yang menerima hadiah atas pengajaran Alquran yang dilakukannya. “Jika engkau ambil maka sejatinya engkau telah mengambil satu kurung api neraka,” titah Rasul.

Riwayat Ubadah bin as-Shamit menegaskan larangan senada. Secara jelas larangan itu dipertegas pula dalam hadis Abdurrahman bin Syibil. “Jangan engkau cari makan darinya dan jangan pula mencari keuntungan,” sabda Nabi.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved