Sejarah THR

Mengenal Bapak THR Indonesia Soekiman Wirjosandjojo, Semula Tunjangan Hari Raya Hanya Untuk PNS

Inilah sosok Bapak THR Indonesia, Soekiman Wirjosandjojo, yang dalam sejarah THR semula diberikan hanya diberikan untuk pamong praja atau PNS

Editor: Dwi Sudarlan
tribunkalteng.com/kompas.com
Ilustrasi uang THR 

TRIBUNKALTENG.COM - Inilah sosok Bapak THR Indonesia, Soekiman Wirjosandjojo, yang dalam sejarah THR (Tunjangan Hari Raya) semula diberikan hanya untuk pamong praja atau pegawai negeri sipil.

Setiap jelang Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri, semua pekerja baik pegawai swasta maupun pegawai negeri pasti mengharapkan mendapat THR.

Bahkan, THR diberikan kepada seluruh pekerja meskipun ada yang bukan muslim sehingga tidak merayakan lebaran.

THR sudah menjadi kewajiban bagi perusahaan atau pemerintah untuk memberikannya.

Saat pandemi covid-19 pun THR sebisa mungkin diberikan.

Baca juga: THR 2021 PNS TNI Polri Segera Cair, Pemerintah Siapkan Rp 45,4 Triliun

Baca juga: THR PNS Dicairkan 3 Mei 2021, Lihat Daftar Besarannya Sesuai Golongan

Baca juga: Pria Ini Menjual Batu Meteor yang Diyakini Mengandung Emas, Semula Dikira Milik Makhluk Gaib

Bagi yang sudah bekerja setahun penuh atau lebih, besaran THR lazimnya dibayarkan senilai satu kali gaji.

Sementara untuk mereka yang bekerja kurang dari setahun, THR dibayar dengan perhitungan secara proporsional.

Soal THR ini, sepatutnya seluruh pekerja swasta maupun negeri mengucapkan terima kasih kepada Soekiman Wirjosandjojo.

Dia bisa disebut sebagai Bapak THR Indonesia.

Dilansir Kompas.com, melaui artikel berjudul Sejarah Asal Muasal THR, Awalnya Hanya untuk PNS, menyebutkan sejarah THR bermula pada Kabinet Soekiman Wirjosandjojo.

THR baru muncul saat Indonesia masih menganut sistem pemerintahan parlementer.

Dikutip dari Buku Wawasan Politik Seorang Patriot Soekiman Wirjosandjojo, usai dilantik menjadi Perdana Menteri Indonesia ke-6 oleh Presiden Soekarno pada tahun 1951, ia langsung membuat beberapa program kesejahteraan para pamong praja.

Pamong praja sendiri merupakan sebutan yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) di era awal kemerdekaan.

Saat itu, Soekiman yang seorang nasionalis berhaluan Islam dari Partai Masyumi, meluncurkan program THR bagi para pamong praja.

Tujuannya, agar para PNS dan keluarganya di masa itu memberikan dukungan pada program-program pemerintah.

Pada tahun 1954, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri. 

Sesuai dengan namanya, sebelum seperti sekarang, pada awalnya THR PNS berbentuk persekot atau pinjaman di muka, di mana nantinya harus dikembalikan lewat pemotongan gaji. 

THR diberikan pemerintah kepada PNS sebesar Rp 125 hingga Rp 200 dan dicairkan setiap akhir bulan Ramadhan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Selain uang THR, PNS kala itu itu juga diberikan paket berupa sembako, kebiasaan yang belakangan rupanya banyak ditiru dan jadi tradisi perusahaan-perusahaan di Indonesia jelang Lebaran hingga saat ini. 

Sesuai aturan pemerintah saat itu, THR hanya berlaku untuk PNS, bukan pekerja swasta.

Hal itu rupanya ditentang keras oleh kaum buruh, terutama organisasi buruh yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Para penentang berargumen, THR yang hanya diberikan kepada pamong praja sebagai tindakan tidak adil.

Padahal, mereka juga sama-sama bekerja, baik di perusahaan swasta maupun perusahaan negara. 

Dari waktu ke waktu, kaum buruh terus mendesak pemerintah untuk mewujudkan THR.

Puncaknya, kaum buruh melakukan mogok kerja serentak nasional menuntut hak THR dari pemerintah.

Untuk mengakomodir buruh, pemerintah lewat Menteri Perburuhan S.M Abidin kemudian menerbitkan Surat Edaran Nomor 3667 Tahun 1954.

Besaran THR untuk pekerja swasta adalah sebesar seperduabelas dari gaji yang diterima dalam rentang waktu satu tahun.

Besarannya, sekurang-kurangnya adalah Rp 50 dan paling besar Rp 300.

Namun surat edaran tersebut hanya bersifat imbauan.

Artinya, banyak perusahaan yang tidak membayarkan THR karena menganggapnya sebagai tunjangan pegawai yang diberikan sukarela.

Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961 atau saat Menteri Perburuhan dijabat oleh Ahem Erningpraja.

Aturan mengenai besaran dan skema THR secara lugas baru diterbitkan pemerintah pada tahun 1994 yakni lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan.

Tahun 2016 pemerintah melalui Kementrian Ketenagakerjaan, merevisi peraturan mengenai THR.

Perubahan ini tertuang dalam Peraturan Menteri ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016.

Dalam peraturan ini menyebutkan bahwa pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan THR.

Selain itu kewajiban pengusaha untuk memberikan THR, tidak hanya diperuntukan bagi karyawan tetap, melainkan juga untuk karyawan kontrak.

Disebutkan pula bahwa THR diberikan selambat-lambatnya tujuh hari sebelum hari raya keagamaan masing-masing pekerja.

Pada 2018 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 dan 19/2018 tentang THR dan gaji ke-13.

Menurut peraturan itu, PNS, pensiunan PNS, prajurit TNI, anggota Polri, pejabat, anggota MPR, DPR, DPD, menteri dan pejabat setingkat menteri, gubernur, wali kota, bupati dan wakilnya berhak mendapatkan THR dan gaji ke-13.

Baca juga: Malam Ini Nuzulul Quran Ramadhan 1442 H, Lakukan Amalan Seperti yang Dicontohkan Rasulullah SAW

Baca juga: Jelang 10 Hari Terakhir Ramadhan 1442 H, Ini Tanda-tanda Malam Lailatul Qadar, Ibadah Lebih Nikmat

Siapa sosok Soekiman Wirjosandjojo?

Soekiman Wirosandjojo adalah tokoh politik dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang juga dikenal sebagai tokoh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).

Ia adalah Perdana Menteri pada 27 April 1951-3 April 1952. Lahir di Sewu, Solo pada tahun 1898.

Ia mengenyam pendidikan di ELS yang kemudian dilanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter) di Jakarta.

Saat usianya menginjak 29 tahun, ia lulus dari Universitas Amsterdam bagian kesehatan.

Soekiman Wirjosandjojo
Soekiman Wirjosandjojo (Istimewa)

Selama menuntut ilmu di negeri Belanda, ia mendalami masalah sosial, politik dan juga kebudayaan.

Karena kecakapannya, ia pun terpilih menjadi ketua Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925. 

Tahun 1926 ia pulang ke tanah air dan membuka praktik dokter di Yogyakarta

Seiring dengan itu, ia terjun dalam perjuangan dengan memasuki Partai Sarekat Islam (PSI) pimpinan H O S Tjokroaminoto dan H Agus Salim, ia menjabat bendahara selama enam tahun.

Bersama H Agus Salim, ia mengubah partai itu menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Partai ini merupakan partai politik tertua di Indonesia.

Pada tahun 1930, setelah timbul perselisihan, dia keluar dari partai dan bersama Surjopranoto mendirikan Partai Islam Indonesia (Parii).

Partai baru ini tidak berumur panjang dan hanya bertahan hingga 1935

Meskipun demikian, cita-cita Soekiman untuk mendirikan partai politik Islam yang besar dan berpengaruh tetap menyala.

Usahanya tidak berhenti, pada tahun 1939, bersama Wiwoho, ia menghidupkan kembali Partai Islam Indonesia (disingkat PH) dengan mengambil haluan serupa dengan partai terdahulu.

Bersifat terbuka dalam keanggotaan, partai ini banyak menerima anggota dari organisasi lain, misalnya Muhammadiyah.

Pada waktu itu, di samping adanya federasi partai-partai politik nasional, terdapat pula federasi dari semua pergerakan nasional dan federasi pergerakan Islam, yaitu MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia). Dr Soekiman menjadi anggota penting federasi itu.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sembari tetap memajukan Masyumi.

Soekiman meninggal pada tahun 1974. (*)

Artikel ini telah tayang di TribunManado.co.id dengan judul Sosok Soekiman Wirjosandjojo, Pencetus Pembagian THR, Tapi Ditentang PKI 

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved