HUT Kemerdekaan
Dibaca Sebelum Proklamasi Kemerdekaan, Ini Pidato Bung Karno pada 17 Agustus Versi Lengkapnya
Padahal sebelum kemerdekaan itu diproklamirkan, Presiden Soekarno didampingi Mohammad Hatta, ketika itu juga membacakan pidato pengantarnya.
Ini digelar pada malam hari sebelum tanggal 17 Agustus.
Biasanya acara ini diisi dengan kilas balik sejarah perjuangan bangsa atau diisi dengan pidato 17 Agustus yang berisikan pesan-pesan dalam mengisi kemerdekaan.
Seperti apa pidato 17 Agustus yang bisa menumbuhkan semangat nasionalisme?
Tidak ada salahnya Anda mengambil ide dari teks naskah pidato Bung Karno saat berpidato Pada peringatan kemerdekaan ke-20 RI, 17 Agustus 1964. Kemudian Anda bisa sesuaikan dengan kondisi sekarang.
Saat itu, Soekarnno menyampaikan pidatonya yang berjudul “Berdikari”.
Sebagaimana dikutip tribunjogja.com dari kompas.com, ada beberapa poin penting yang disebutkan sang Founding Father dalam pidatonya adalah kemerdekaan sepenuhnya yang sudah didapatkan Bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan.
“Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat Tanah-Air kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita, negara merdeka, Negara Republik Indonesia, merdeka, kekal, dan abadi, Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu!”
Ia juga mengobarkan semangat kepada seluruh rakyatnya agar terus bersemangat mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang bersifat membangun. Sehingga kemerdekaan bukan hanya sebatas slogan, melainkan kebebasan yang benar-benar dapat dirasakan maknanya.
“Resapkanlah, endapkanlah, renungkanlah, bahwa kita ini sudah 20 tahun merdeka. Apa artinya 20 tahun dalam sejarah tergantung saudara-saudara, tergantung dari peranan iuran kita kepada sejarah itu.
Manakala kita melempem, manakala jiwa kita lembek, manakala kita menyerah sebagai obyek sejarah dan tidak berusaha menjadi subjek sejara, maka jangankan 20 tahun, 200 tahun sekalipun akan tertancap dalam debu sejarah sebagai bukan apa-apa.
Ya, bukan apa-apa
Tapi manakala kita berlawan, berjuang, menjebol, dan membangun, mendestruksi dan mengkonstruksi, berfantasi dan berkreasi, manakala kita berjiwa elang rajawali dan bersemangat banteng, manakala kita pantas disebut pejuang sebagaimana 20 tahun ini kita membuktikannya.
Maka jangankan 20 tahun, 2 tahun saja pun, tapi 2 tahun yang dahsyat demikian itu akan tercatat abadi dalam sejarah dan akan abadi sebagai teladan.”

Menko saat itu, Roeslan Abdoelgani, menyebutnya sebagai konsep politik yang rasional dan ilmiah.
“Adapun konsep ‘Berdikari’ adalah suatu konsepsi politik yang rasionil serta ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, karena sikap berdikari itu adalah respons yang tepat terhadap challenge pihak Nekolim di segala bidang terhadap revolusi dan Republik Indonesia kita, terutama challenge mereka di bidang ekonomi,” kata Roeslan, dikutip dari artikel Kompas edisi 24 Agustus 1965.