Berita Palangka Raya

Gubernur Kalteng Tegaskan Larangan Pengibaran Bendera One Piece, "Tak Ada Negara di Atas Negara"

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

WAWANCARA - Wawancara dengan Gubernur Kalteng, Aguatiar Sabran.

TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKA RAYA – Gubernur Kalimantan Tengah Agustiar Sabran, menegaskan larangan pengibaran bendera bajak laut dari serial One Piece di seluruh wilayah Kalteng.

“Sebenarnya tidak layak, tidak boleh,” tegas Agustiar, Jumat (8/8/2025).

Agustiar mengatakan, dalam prinsip bernegara, tidak ada simbol yang boleh di tempatkan di atas kedaulatan negara.

“Tidak ada negara di atas negara. Merah Putih itu identitas bangsa kita,” lanjutnya.

Mantan anggota DPR RI itu kembali menekankan, di Kalimantan Tengah, bendera kebanggaan Indonesia wajib dijunjung tinggi.

“Di Kalteng tidak boleh, ditekankan ya. Kalau itu dijadikan bendera, saya tegaskan nggak boleh,” ujarnya.

Menurutnya, pengibaran Bendera Merah Putih memiliki nilai historis, perjuangan, dan kehormatan yang harus dijaga oleh seluruh warga negara, terlebih menjelang peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI.

Sebelumnya, akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMPR), Sadar menyebut fenomena ini merupakan bagian dari ekspresi sosial-politik masyarakat yang wajar terjadi dalam sistem demokrasi.

“Ini salah satu bentuk fenomena sosial-politik. Sosial karena terjadi di tengah masyarakat menjelang HUT RI yang biasanya identik dengan pengibaran Bendera Merah Putih. Politik karena menjadi simbol kritik terhadap penyelenggaraan pemerintahan,” ujar Sadar kepada Tribun Kalteng, Selasa (5/8/2025) lalu.

Baca juga: Pengibaran Bendera One Piece, Plt Sekda Kalteng Tegaskan Tak Boleh dan Harus Hormati Merah Putih

Baca juga: Akademisi FISIP UMPR Sebut Fenomena Bendera One Piece Bentuk Kritik, Bukan Aksi Anti Nasionalisme

Lebih lanjut, ia juga menekankan, sebagai negara demokrasi, semestinya pemerintah mampu menyikapi fenomena ini secara positif, bukan dengan pendekatan represif.

“Ekspresi semacam ini sah-sah saja dalam demokrasi. Tidak perlu dibaca sebagai kegagalan komunikasi publik. Ini lebih berkaitan dengan substansi kebijakan publik yang dinilai belum berpihak,” pungkasnya.

Berita Terkini