Berita Kotim Kalteng

Dewan Adat Dayak Kotim Tolak Transmigrasi Nasional di Kalteng, Khawatir Masyarakat Lokal Tersingkir

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

WAWANCARA - Ketua Harian Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Gahara, saat ditemui oleh Tribunkalteng.com, beberapa waktu yang lalu.

TRIBUNKALTENG.COM, SAMPIT – Rencana pemerintah pusat menjalankan program transmigrasi nasional 2025–2029 mendapat penolakan dari tokoh adat di Kalimantan Tengah. 

Ketua Harian Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Gahara, menyatakan ketegasan sikap pihaknya untuk menolak Kotim dijadikan sebagai lokasi tujuan program tersebut.

Menurutnya, program transmigrasi berisiko memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat lokal yang saat ini masih berkutat dengan kemiskinan dan keterbatasan akses terhadap lahan dan pelayanan dasar.

“Kami menolak jika Kotim ini dijadikan daerah transmigrasi. Masih banyak masalah sosial di sini. Masyarakat lokal masih hidup jauh di bawah garis kemiskinan,” ujar Gahara saat dikonfirmasi, Senin (21/7/2025).

Ia menilai, kehadiran transmigran dari luar daerah, terutama dari luar Kalimantan, hanya akan menambah beban baru. 

Ketimpangan penguasaan sumber daya dikhawatirkan akan semakin tajam dan memicu konflik horizontal.

“Kalau program ini dipaksakan, masyarakat adat dan petani lokal hanya akan jadi penonton di tanah sendiri,” kata Gahara.

Lebih jauh, Gahara menyebut pelaksanaan transmigrasi di masa lalu telah meninggalkan jejak permasalahan panjang, mulai dari penguasaan lahan yang tidak merata hingga kerusakan lingkungan. 

Ia menyayangkan tidak adanya evaluasi mendalam sebelum program baru ini dirancang ulang.

“Sejak era 1970-an, program transmigrasi nasional sudah banyak menimbulkan persoalan. Tanah-tanah adat hilang, hutan rusak, masyarakat lokal kehilangan ruang hidupnya,” tegasnya.

Tak hanya persoalan ekonomi, ia juga menyoroti dampak transmigrasi terhadap hak-hak politik dan budaya masyarakat Dayak. 

Masuknya warga baru dari luar daerah dikhawatirkan akan mengubah komposisi sosial serta menggeser identitas lokal secara perlahan.

“Ini seperti kolonisasi modern. Jangan sampai atas nama pembangunan, hak-hak masyarakat adat dikorbankan. Kami menolak model pembangunan yang tidak berpihak pada masyarakat lokal,” ujarnya.

Gahara mengingatkan bahwa Kalimantan bukanlah tanah kosong. 

Sejak jauh sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Dayak sudah tinggal dan hidup dari hasil hutan dan alam di wilayah tersebut. 

Halaman
12

Berita Terkini