Berita Palangka Raya

Pembatasan Komunikasi Pejabat Pemprov oleh Gubernur, Akademisi UMPR Nilai Penghalang Kebebasan Pers

Akademisi Ilmu Komunikasi UMPR sebut dibatasinya komunikasi pejabat Pemprov Kalteng kepada wartawan justru dinilai penghalangai kebebasan pers

Dok Pribadi untuk Tribunkalteng.com
SOSOK - Akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMPR), Srie Rosmilawati. 

TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKA RAYA – Kebijakan Gubernur Kalimantan Tengah yang membatasi pejabat berbicara kepada wartawan menuai beragam pandangan. 

Dari sudut ilmu komunikasi, kebijakan ini bisa dipahami sebagai strategi komunikasi organisasi, namun juga menyimpan risiko terhadap prinsip transparansi publik.

Menurut Akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMPR) Srie Rosmilawati menilai, langkah tersebut secara teori dapat dikategorikan sebagai bentuk komunikasi tersentralisasi dalam kerangka komunikasi organisasi.

Dalam pendekatan ini, hanya satu atau dua pihak tertentu seperti gubernur atau juru bicara resmi yang diberi otoritas untuk menyampaikan informasi ke media.

"Tujuannya bisa untuk menjaga konsistensi pesan dan meminimalisasi potensi kesalahan komunikasi atau kontradiksi antar pejabat. Tapi, di sisi lain, itu juga bisa membatasi akses informasi yang seharusnya terbuka untuk publik," jelasnya kepada Tribunkalteng, Sabtu (2/7/2025).

Lebih jauh, ia menekankan, dari perspektif komunikasi publik dan media, pembatasan ini berisiko menciptakan persepsi negatif terhadap pemerintah. 

Dalam sistem demokrasi, media berperan sebagai pengawas kekuasaan (watchdog), sehingga pembatasan narasumber bisa dinilai sebagai penghalang kebebasan pers.

“Opini publik bisa terbentuk bahwa pemerintah sedang menyembunyikan informasi atau mengontrol narasi secara sepihak,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa pembatasan informasi dapat menyulitkan media dalam menggali data, sehingga mereka berpotensi beralih ke sumber yang tidak resmi atau bersifat spekulatif, yang justru dapat merugikan citra pemerintah.

Dari sisi etika komunikasi, pembatasan ini dapat bertentangan dengan prinsip hak publik atas informasi.

Masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang, terutama terkait kebijakan dan layanan publik.

"Perlu dibedakan antara mengelola komunikasi dan mengontrolnya secara ketat. Jika sampai menghalangi informasi penting yang seharusnya diketahui publik, maka itu bisa dikritik sebagai tindakan yang tidak etis dalam komunikasi pemerintahan,” katanya.

Baca juga: Batasi Komunikasi Pejabat, Gubernur Kalteng: Silakan Tanya ke Saya   

Baca juga: Gubernur Kalteng Agustiar Sabran Buka-Bukaan Soal Gelaran Car Free Night, Ini Penjelasannya

Namun demikian, ia juga memahami bahwa dalam konteks tertentu, seperti situasi krisis atau isu sensitif, kebijakan tersebut bisa menjadi bagian dari manajemen krisis komunikasi.

Pembatasan komunikasi bisa bertujuan mencegah misinformasi atau disinformasi, asal tetap dilakukan secara transparan dan akuntabel.

“Saya tidak ingin langsung mengatakan setuju atau tidak, karena harus dilihat konteksnya. Kalau dilihat dari prinsip keterbukaan informasi dan kebebasan pers, memang kebijakan itu tidak sepenuhnya sejalan. Tapi kalau dilihat sebagai upaya mengelola krisis dan menjaga kredibilitas komunikasi, tentu ada aspek yang bisa dipahami,” tutupnya

Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved