Berita Palangka Raya

Perlunya Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat demi Selamatkan Ketahanan Pangan di Kalteng

Perlu adanya perlindungan terhadap masyarakat adat terutama dalam hak ketahanan pangan lokal di Kalteng agar terus bisa dan bertahan

Penulis: Ahmad Supriandi | Editor: Sri Mariati
TRIBUNKALTENG.COM/AHMAD SUPRIANDI
KETAHANAN PANGAN - Para petani menanam padi di lahan cetak sawah Kecamatan Dadahup, Kapuas, Kalteng, Jumat (22/11/2024) lalu. 

TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKA RAYA - Rancangan Undang-Undang atau RUU pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat perlu segera disahkan. Hal itu dinilai bisa menyelamatkan ketahanan pangan lokaldi Kalimantan Tengah (Kalteng). 

Sejak dahulu, masyarakat adat Dayak di Kalteng sudah memiliki sistem berladang tradisional untuk menanam padi. Cara ini menjadi sistem ketahanan pangan ala Dayak

Hasil padi yang menggunakan sistem berladang tradisional suku Dayak itu biasanya cukup untuk kebutuhan 1-2 tahun. Tak jarang, hasil panen berlebih dan bisa untuk dibagikan kepada tetangga atau dijual. 

Sayangnya, sistem berladang tradisional yang membuka lahan dengan cara membakar ini mulai jarang dilakukan sejak bencana kabut asap di Kalteng pada 2015 lalu. 

Hingga akhirnya, Pemprov Kalteng menerbitkan Perda Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pengendalian Kebakaran. 

Dalam peraturan itu, pemerintah memang masih membolehkan masyarakat hukum adat untuk membakar. 

Namun, dengan berbagai syarat yang meliputi lahan yang dibakar tak lebih dari satu hektare, hingga harus mengantongi izin yang diproses dari desa sampai ke kepolisian. 

Dosen Sosiologi Universitas Palangka Raya (UPR), Paulus Alfons Yance Dhanarto mengatakan, ilmu berladang tradisional suku Dayak yang diturunkan secara turun-temurun sangat krusial untuk perladangan masyarakat adat. 

"Masyarakat adat membakar lahan sebagai bagian dari menyiapkan lahan. Batasan dan larangan membakar itu menjadi intervensi terhadap pengetahuan asli suku Dayak," ujar Paulus, Sabtu (8/2/2025). 

Paulus menjelaskan, perspektif membakar lahan bagi suku Dayak bukan hanya untuk membuka lahan. Akan tetapi, terdapat nilai spiritual di dalamnya. 

"Selain dalam rangka menyuburkan, membakar lahan juga bentuk meminta izin kepada leluhur bahwa dia sedang mengupayakan kehidupan anak dan cucunya. Jadi asap yang membumbung ke langit itu menunjukkan dia sedang meminta izin untuk memanfaatkan kekayaan intelektual yang diwariskan leluhur untuk bertahan hidup," tuturnya. 

Larangan membakar ini berpotensi menyebabkan kekayaan benih padi di Kalteng hilang, serta lambat laun ilmu berladang tradisional akan punah. 

Satu di antara solusi agar masyarakat adat tetap bisa menjalankan ladang tradisional tanpa takut dipenjara adalah dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat. 

Pengakuan dan perlindungan terhadap praktik berladang yang dilakukan masyarakat adat juga bisa menyelamatkan ketahanan pangan di Kalteng

Sejak aturan larangan membakar diterbitkan, produksi padi di Kalteng terus menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) Kalteng mencatat, pada 2020, produksi padi hanya 425.110 ton gabah kering giling (GKG). Jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 443.560 ton GKG. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved