Berita Palangkaraya

Upaya Polda Kalteng Dalam Penyelesaian Konflik Lahan, ini Kata Brigjen Pol Rakhmad Setyadi

Wakapolda Kalteng, Brigjen Pol Rakhmad Setyadi menyampaikan, diskusi tersebut digelar untuk menyelesaikan konflik lahan dengan pendekatan filosofi.

Penulis: Ahmad Supriandi | Editor: Nia Kurniawan
TRIBUNKALTENG.COM/PANGKAN
CEK SAPRAS - Wakapolda Kalteng, Brigjen Pol Rakhmad Setyadi saat melakukan pengecekan sarpras 

TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKARAYA - Konflik antara perusahaan perkebunan sawit dengan masyarakat masih belum selesai di Kalimantan Tengah (Kalteng). Bahkan, Polda Kalteng telah menyampaikan rilis selama tahun 2024 ada 175 kasus yang ditangani dengan 350 tersangka atas tuduhan pencurian sawit.

Kabid Humas Polda Kalteng, Kombes Pol Erlan Munaji mengungkapkan, bahwa satu di antara tersangka inisial PR (46) mengaku menyesal telah melakukan penjarahan buah sawit di Kabupaten Seruyan belum lama ini.

Selain itu, tersangka lainnya insial DD (44) juga menyampaikan pada Erlan penyesalannya karena terlibat dalam kasus pencurian buah sawit.

"Jadi DD ini berpesan, kalau mencari rejeki harus yang halal, jangan sampai melanggar hukum negara maupun agama. Bekerja lah yang halal, meskipun hasilnya sedikit tetapi hal tersebut bisa menjadi berkah untuk keluarga," ujar Erlan, Jumat (13/9/2024).

Sudah 350 orang ditangkap, kasus penjarahan masih saja terjadi. Polda Kalteng sebelumnya juga telah menggelar diskusi bersama ormas terkait penyelesaian konflik sosial dan sengketa lahan tersebut.

Wakapolda Kalteng, Brigjen Pol Rakhmad Setyadi menyampaikan, diskusi tersebut digelar untuk menyelesaikan konflik lahan dengan pendekatan filosofi huma betang yang berarti mengakui perbedaan dan memecahkan masalah melalui musyawarah.

Kabar tentang penangkapan 350 orang yang terjerat kasus pencurian sawit itu memang meprihatinkan, Dedi Susanto (32), warga Desa Penyang, Kotawaringin Timur, Kalteng, masih mempertanyakan apakah menangkap masyarakat itu sudah adil.

Di antara 350 orang itu ada kerabat Dedi. Ia sangat yakin yang disebut sebagai pelaku penjarahan sawit massal itu bukan pelaku kriminal.

"Tidak ada yang bercita-cita jadi kriminal, kalau kami punya lahan, tidak ada yang bakal menjarah sawit perusahaan," kata Dedi.

Menurut Dedi, penjarahan itu adalah solusi terakhir yang dilakukan masyarakat di sekitar perkebunan untuk menuntut hak mereka yang tak diberikan perusahaan.

Beberapa kali demo, lanjut Dedi, tapi plasma yang dituntut tak juga terealisasi, lahan berladang juga nyaris tak ada. Alhasil, penjarahan dinilai satu-satunya jalan untuk diperhatikan dan janji perusahaan ketika sosialisasi dulu terpenuhi.

"Itu bukan mencuri, mana ada mencuri di siang bolong bahkan terang-terangan, itu sudah cara terakhir menuntut hak kami," ucap Dedi.

Dedi tak menganggap penangkapan 350 orang itu adalah keadilan. Ia juga mempertanyakan perusahaan yang tak memenuhi hak masyarakat justru dibiarkan.

"Janji perusahaan ketika ingin membuka lahan memang manis. Nyatanya, sekarang masyarakat menuntut hak justru ditangkap, kami hanya boleh berladang seluas dua hektar sedangkan perusahaan membuka lahan ribuan hektar. Mana adilnya?," sambungnya.

Konflik sosial dan sengketa lahan tak hanya terjadi di Desa Penyang. Masalah serupa juga terjadi di wilayah Kalteng lainnya seperti Desa Bangkal, Seruyan.

Sama seperti di Desa Penyang, warga Desa Bangkal juga masih memperjuangkan hak mereka yang tak dipenuhi perusahaan.

Satu di antara pejuang di Desa Bangkal itu James Watt (53), yang pernah dikriminalisasi pada 2020 lalu karena aksi panen massal pohon-pohon sawit yang ada di lahan keluarganya.

James juga sependapat dengan Dedi, ia mempertanyakan mengapa hanya masyarakat yang ditindak sementara perusahaan yang membangun kebun dalam kawasan hutan tidak.

Perusahaan sawit, ujar James, datang dengan janji manis menyejahterakan masyarakat termasuk di dalamnya lahan plasma 20 persen.

Namun, yang diterima James dan warga Desa Bangkal lainnya justru sebaliknya. Bahkan, nyawa Gijik (35) harus melayang ketika menuntut hak warga Bangkal 2023 lalu.

"Kami menuntut hak ditindak, tapi perusahaan yang ingkar janji dan membuka lahan di kawasan hutan tidak ?," ucap James.

Apa yang disampaikan James diperkuat dengan data yang dihimpun Walhi Kalteng.

Walhi mencatat, setidaknya terdapat 632.133 hektare kebun sawit yang masuk ke dalam kawasan hutan. Angka itu melebihi luas pulau Bali.

Perkebunan sawit yang berada di dalam kawasan hutan itu mayoritas terdapat di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Seruyan, dan Kabupaten Kapuas.

Pemerintah berencana melakukan pemutihan terhadap lahan sawit milik perusahaan besar swasta yang masuk ke dalam kawasan hutan di Kalteng.

Rencana pemutihan ini mendapat sorotan dari Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Kalteng. Manajer Advokasi, Kajian dan Kampanye Walhi Kalteng, Janang Firman Palanungkai menyebut, rencana pemutihan ini merupakan bentuk pengampunan kejahatan lingkungan.

"Pemerintah gagal memahami permasalahan konflik di Kalteng, pemutihan ini justru memperuncing konflik dan membuat ketimpangan kepemilikan lahan," ungkap Janang.

Sampai saat ini, Dedi dan James masih memperjuangkan haknya. Begitu juga dengan masyarakat lainnya di Kalteng yang sedang berkonflik dengan perusahaan.

(Tribunkalteng.com/ahmadsupriandi) 

Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved