Berita Palangkaraya

Santri Habisi Ustadzah di Ponpes Palangkaraya, Akademisi Sebut Game Kekerasan Pengaruhi Jiwa Anak

Akademisi Psikologi di Palangkaraya menilai santri habisi ustadzah bisa saja terpengaruh dampak game berbau kekerasan mempengaruhi jiwanya.

Editor: Fathurahman
Tribunkalteng.com/Ahmad Supriandi
Sejumlah barang bukti kasus santri bunuh ustadzah di Ponpes Palangkaraya yang diamankan oleh Polresta Palangkaraya, Kamis (16/5/2024). 

TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKARAYA - Kasus santri habisi usztadzah di sebuah pondok pesantren atau Ponpes Palangkaraya jadi sorotan akademisi Psikologi Palangkaraya.

Tragedi seorang santri nekat menusuk ustadzah hingga tewas di Ponpes Palangkaraya di Jalan Danau Rangas, Selasa (14/5/2024) masih menjadi perbincangan warga.

Betapa tidak perbuatan sadis tersebut dilakukan seorang santri yang masih berumur 13 tahun terhadap ustadzah di lingkungan Ponpes Palangkaraya.

Parahnya lagi, alasan santri membunuh ustadzahnya hanya akibat santri dendam karena pernah dijemur ustadzahnya sebagai hukuman karena melakukan pelanggaran pada 2023 lalu.

Diberitakan sebelumnya, santri berinisial FA (13) secara brutal menusuk korban yang notabenenya adalah gurunya sendiri.

Tak hanya satu kali, ia menusuk hingga sembilan kali yang menyebabkan ustadzah berinisial STN (35) itu tewas karena pendarahan hebat.

Kejadian tersebut membuat kesehatan mental pelaku yang masih remaja itu dipertanyakan. Karena baik hukuman maupun pelanggaran yang dilakukan masih dinilai hal yang wajar untuk seorang remaja 13 tahun.

Seorang  Akademisi Psikologi di Institut Kristen Negeri Palangkaraya, Jeffry S Supardi mengatakan permasalahan kesehatan mental itu kemudian bisa mempengaruhi tindakan yang diambil oleh remaja.

Dia meminta kepada orang dewasa atau orang tua harus lebih banyak mendengarkan dan memberikan solusi keluhkesah pada anak. "Sebagai orang dewasa kita perlu mendengarkan keluh kesah anak," kata Jeffry.

Dia menduga selain faktor internal dalam diri anak remaja ada juga faktor eksternal seperti teman, lingkungan, dan game kekerasan atau  yang mengandung kekerasan juga dapat mempengaruhi tindakan nekat yang dilakukan oleh seorang remaja.

"Perasaan sakit hati yang dipendam itu bisa berpengaruh pada kesehatan mental, tapi kalau untuk tindakan nekat itu bergantung pada orangnya dan lingkungannya. Apakah dia bercerita dengan teman-temannya, lalu jika lingkungannya membenarkan apa yang dilakukan, dia akan berani melakukannya," jelas Jeffry.

Jeffry menjelaskan seorang remaja perlu peran orang tua untuk memahami perasaannya atau setidaknya bisa mengontrol bagaimana lingkungan pertemanannya.

Baca juga: NEWS VIDEO, Kapolresta Palangkaraya Sebut Kejiwaan Santri Pembunuh Ustadzah Normal Saja

Baca juga: Pengurus Ungkap Belum Pernah Terjadi Kekerasan di Ponpes Palangkaraya Sebelum Santri Habisi Ustadzah

Baca juga: Penyidik Polresta Palangkaraya Periksa Kejiwaan Santri Pembunuh Ustadzah di Pondok Pesantren

"Idealnya memang orang tua bisa berdiskusi dengan anaknya tentang permasalahan yang dialaminya," lanjutnya.

Apalagi saat ini zaman telah berubah dan tidak semua orang tua bisa mengikuti perkembangan zaman dan bisa menyesuaikan dengan proses yang dialami anaknya.

Peran orang tua dalam mengontrol lingkungan dan menjadi wadah anak menceritakan sesuatu yang dialaminya sangat krusial.

"Akumulasi rasa sakit hati yang tidak bisa dilampiaskan berpotensi membuat seorang remaja bertindak nekat bahkan menghilangkan nyawa orang lain," ujarnya.(*)

 

 

 

Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved