Berita Palangkaraya

Pemutihan Lahan Sawit Ilegal Kalteng Jadi Sorotan, Save Our Borneo Sebut Hanya Untungkan Pengusaha

Rencana pemutihan lahan sawit illegal oleh Pemerintah Pusat, di Indonesia satu di antaranya Kalimantan Tengah, jadi sorotan Save Our Borneo atau SOB.

|
Penulis: Anita Widyaningsih | Editor: Fathurahman
ILUSTRAS/ TRIBUNFILE/IST
Ilustrasi. Rencana pemutihan lahan sawit ilegal di Kalteng disorot berbagai berbagai pihak, satu di antaranya lembaga pecinta lingkungan Save Our Borneo atau SOB. 

TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKARAYA -Wacana tentang pemutihan lahan sawit illegal mendapat sorotan berbagai kalangan.

Rencana pemutihan lahan sawit illegal oleh Pemerintah Pusat, dibeberapa lokasi di Indonesia satu di antaranya adalah Kalimantan Tengah .

Rencana pemutihan lahan sawit ilegal terebut disorot berbagai berbagai pihak, satu di antaranya adalah Save Our Borneo atau SOB.

Terkait dengan hal ini Direktur SOB, Habibie menyebut mestinya pada kasus ini, hukum dapat ditegakan.

Hal ini didasari oleh kegiatan tersebut merupakan kejahatan yang dilakukan secara terorganisir dan telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Disebutkannya ini jelas diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2013, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Dalam pasal 1 angka 5 UU Nomor 18 Tahun 2013 menyatakan bahwa penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri.

“Maka, jelas sekali bahwa tidak terpenuhinya persyarakat atas kebun-kebun kelapa sawit yang telah dibuka dalam kawasan hutan ini adalah kejahatan karena melanggar regulasi,” jelasnya Senin (6/5/2024).

Kemudian ditambahkannya masih dalam UU yang sama, dalam pasal 17 ayat (2) dinyatakan bahwa setiap orang dilarang membawa alat dan melakukan kegiatan perkebunan apa pun, termasuk jual-beli hasil kebun di kawasan hutan tanpa seijin Menteri. 

Hal ini jelas bertahun-tahun secara sengaja telah dilanggar oleh para pengusaha yang rencananya akan memperoleh pemutihan ini.

“Jauh lebih baik dari UU Cipta Kerja, dalam UU Nomor 18 Tahun 2013, selain konkrit menunjukkan bentuk kejahatan hutan, ia juga menjamin negara tidak dirugikan. Dalam pasal 46 segala barang bukti berupa kebun atau tambang dari penggunaan kawasan hutan harus dikembalikan ke pemerintah. Kawasan hutan dipulihkan dan kebun/tambang dapat dimanfaatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” sebutnya.

Kemudian ia menambahkan, dalam pasal 92 ayat (2) jelas menyebut bahwa korporasi pelaku pelanggar ijin bukan memperoleh pengampunan tetapi pidana.

Pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara minimal 8 tahun, dan maksimal 20 tahun dengan membayar denda paling sedikit 20 miliar rupiah dan paling banyak 50 miliar rupiah.

“Anehnya, pemerintah justru tidak menggunakan UU 18 Tahun 2013 ini. Pemerintah justru memilih mengakomodir kepentingan para pengusaha, dengan menyisipkan pasal 110 A dan 110 B di dalam UU Cipta Kerja.  Sehingga dengan kedua pasal itu lah, 3,3 juta ha kebun sawit di dalam kawasan hutan akan dilegalkan oleh pemerintah,” jelasnya.

Habibie menyebut pemerintah mengklaim kebijakan tersebut dalam rangka memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit, dan mendorong peningkatan penerimaan negara.

Namun ia mempertanyakan, bagaimana kerugian yang telah diterima negara bertahun-tahun lamanya.

Ia menilai alasan ini sulit diterima, sebab, kebijakan tersebut justru menunjukan bahwa tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia selama ini memang tidak baik.

“Bukannya diperbaiki, tetapi malah dimaklumi,” jelasnya.

Kemudian disampaikannya kebijakan ini tentu hanya menguntungkan pengusaha kebun kelapa sawit.

Baca juga: Gelar Sidang Adat, DAD Kotim Turun Tangan Atasi Polemik Sengketa Lahan Sawit di Cempaga Hulu

Lebih dari sekedar memperoleh pengampunan negara lewat pemutihan ijin, para pengusaha ini sekaligus dimudahkan untuk memperoleh legalitas menguasai jutaan hektar lahan.

Hal ini juga berarti semakin mudah bagi korporasi mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) untuk beberapa puluh tahun ke depan.

“Negara gigit jari. Sementara ruang gerak korporasi semakin bebas, akan ada semakin banyak ruang hidup terusik dan tergusur di Indonesia. Lebih dari kerugian negara, dampak kerusakan lingkungan dan konflik agraria akan terus mengikuti. Selain keuntungan bagi pengusaha, negara dan masyarakat dapat apa ?,” pungkasnya. (*)

 

 

Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved