Berita Palangkaraya

Akademisi Hukum UPR Menilai Food Estate Gunung Mas Proyek Gagal dan Merusak Lingkungan

Program mega proyek Food Estate Gunung Mas Kalteng dinilai akademisi hukum Universitas Palangkaraya proyek gagal dan merusak lingkungan

Penulis: Herman Antoni Saputra | Editor: Sri Mariati
ISTIMEWA
Penanaman jagung di kawasan food estate Gunung Mas Kalteng. Akademisi Hukum UPR menilai mega proyek Food estate di Gunung Mas gagal dan merusak lingkungan. 

TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKARAYA – Program mega proyek Food Estate Gunung Mas Kalimantan Tengah (Kalteng), terus mendapat kritikan dan sorotan tajam baik dari aktivis lingkungan hingga akademisi atau pakar hukum.

Proyek Food Estate Gunung Mas dinilai gagal dan merusak lingkungan hidup di wilayah tersebut.

Hal itu diungkapkan Akademisi sekaligus Ketua Ikatan Alumni (IKA) Fakultas Hukum Universitas Palangkaraya (FH UPR) Louise Theresia.

Bukan tanpa alasan, Louise Theresia mengatakan sebanyak 1.000.000 hektare hutan rusak imbas kegagalan proyek tersebut.

Yang mana mengakibatkan rusaknya lingkungan dan berdampak bagi masyarakat yang ada di Kalimantan Tengah.

Louise menilai program lumbung pangan nasional itu minus manfaat dan mengabaikan partisipasi petani dan masyarakat lokal.

Baca juga: Food Estate Sasar Desa Dahian Tambuk Miliki Tanah Subur, Mentan dan Wagub Kalteng Tinjau Lokasi

Baca juga: NEWS VIDEO, Tinjau Food Estate Gunung Mas, Mentan Amran Sulaiman Sebut Prabowo Subianto Visioner

Proyek lumbung pangan tersebut juga sempat ditolak beberapa desa. Di antaranya Desa yaitu Tewai Baru, Sepang Kota, Tampelas dan Pematang Limau Kecamatan Sepang.

"Mesti ditolak oleh 4 desa, namun proyek tersebut tetap dikerjakan dengan dalil proyek nasional," ujar Louise Theresia, kepada Tribunkalteng.com, Selass (30/1/2024).

Menurutnya, pembukaan hutan atau deforestasi Food Estate di Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas mencapai lebih kurang 634 hektare. Diduga kuat tanpa didahului dengan adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Pasalnya, pembukaan pertama kali land clearing dimulai pada 14 November 2020. sedangkan sosialisasi KLHS Food Estate dilaksanakan oleh Kementerian Pertahanan pada 11 Februari 2021 selang empat bulan sesudah pembukaan.

KLHS cepat muncul dalam Peraturan Menteri LHK No.P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyedian Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate.

Peraturan Menteri LHK No P 24 merupakan respon pemerintah atas kritikan dari masyarakat sipil, yang mempermasalkan pembangunan Food Estate di Kalimantan Tengah tanpa ada payung hukumnya.

Demi sebuah proyek ambisius yang disebut Food Estate, turunan dari UU Cipta Kerja yaitu PP No 22 tahun 2021 tentang Penyelengaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Inipun mengatur tentang pengecualian amdal dan satu diantaranya syaratnya adalah adanya KLHS sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (1). Dan kedua aturan ini saling bertautan, berpotensi untuk menghilangkan subtansi dari KLHS itu sendiri.

"Kebijakan Food Estate ditinjau dari dua aturan tersebut bisa ditafsirkan bahwa suatu kebijakan pembangunan tidak memerlukan lagi amdal karena sudah ada KLHS," kata Louise Theresia.

Selain itu, deforestasi Food Estate kebun singkong seluas lebih kurang 634 hektare sama halnya menghilangkan candangan karbon sebanyak 265.392,4 ton.

Perubahan iklim telah terjadi di Kabupaten Gunung Mas ditandai dengan adanya perubahan intensitas hujan dan kenaikan temperatur suhu udara.

Deforestasi Food Estate yang telah terjadi di Kabupaten Gunung Mas diperkuat dengan adanya Undang-Undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Tentunya ini sangat beresiko bagi lingkungan di Kabupaten Gunung Mas dan sangat berpotensi untuk memperluas wilayah banjir," tutur Louise.

Setiap kebijakan pembangunan yang dijalankan pemerintah seharusnya berstandarkan terhadap perlindungan hak asasi manusia, terutama hak masyarakat Kalimantan Tengah.

Yang mana sesuai dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 18H Ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Lanjut Louise, Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dalam pasal 9 ayat (3) menegaskan: setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Baca juga: Poktan Food Estate Desa Pantik Pulang Pisau Panen 3 Kali Setahun, Berharap Bantuan Alat Pemanen Padi

Baca juga: Kementan Bantah Penanaman Jagung di Polybag, Tegaskan Tumbuh Subur di Lahan Food Estate

Undang-undang No.32 tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hisup, Pasal 5 Ayat (1), yang berbunyi setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan pemerintah harus memulihkan lahan terhadap hutan, yang telah dibuka untuk food estate singkong di Kabupaten Gunung Mas demi terpenuhinya perlindungan hak asasi.

Komoditas jagung yang ditanam di lahan Food Estate Gunung Mas, Kalteng sekarang ini, dipaksakan demi menutupi kegagalan proyek perkebunan singkong yang mangkrak di tangan Kementerian Pertahanan.

"Komoditas jagung yang "dipaksakan" ditanam di tanah yang mayoritas pasir itu diperkirakan tumbuhnya tidak terlalu bagus,” pungkas Louise Theresia. (*)

Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved