Kabar Dayak

Beda Makna Laluhan Dulu dan Sekarang, Tradisi Pengantar Tiwah Khas Dayak Kalteng

Laluhan khas Dayak Kalteng ini dulunya dilakukan untuk pengantar Tiwah, namun kini beralih fungsi.

Penulis: Nor Aina | Editor: Nia Kurniawan
YouTube Harianto Taro sembiring
Beda makna Laluhan dulu dan sekarang, tradisi pengantar tiwah khas Dayak Kalteng yang berubah fungsi. 

TRIBUNKALTENG.COM - Laluhan merupakan tradisi khas Suku Dayak Kalimantan Tengah (Kalteng) khususnya yang menganut Kaharingan.

Tradisi Laluhan khas Dayak Kalteng ini dulunya dilakukan untuk pengantar Tiwah, namun kini beralih fungsi.

Tak hanya itu, makna ritual Laluhan khas Suku Dayak Kalteng dulu dan sekarang juga mengalami perbedaan.

Lantas apa perbedaan ritual Laluhan khas Suku Dayak Kalteng dulu dan sekarang?

Dalam praktiknya, laluhan merupakan ritual pengantaran barang-barang pemberian dari warga desa satu kepada warga desa yang lain.

Warga desa tersebut yang sedang menggelar upacara ritual tiwah.

Pemberian yang diantarkan dengan menggunakan rakit atau angkutan air lainnya ini sebagai ungkapan kebersamaan, wujud kegotong-royongan dan solidaritas sosial.

Berkaitan dengan upacara tiwah, tujuan laluhan adalah untuk mengurangi beban keluarga yang sedang menyelenggarakan upacara tiwah.

Mengingat upacara ritual tiwah tersebut menelan biaya yang cukup besar, sehingga warga Dayak membantunya dengan Laluhan.

Upacara adat ini biasanya dipimpin oleh tokoh adat dan tokoh agama pada masyarakat setempat.

Mereka menggunakan sarana air berupa, klotok, tongkang, sampan, rakit, atau perahu yang penuh dengan berbagai hiasan.

Tak hanya itu, sarana air tersebut juga dihias dengan berornamen budaya Dayak Kalteng.

Sarana air itu dipergunakan untuk memuat dan mengantarkan barang-barang pemberian.

Barang pemberian saat mengadakan upacara Laluhan jenisnya cukup beragam.

Berikut jenis Laluhan khas Dayak Kalteng:

1. Laluhan Metu, yang mana mereka mengantarkan atau memberikan hewan kurban seperti kerbau, sapi atau babi.

2. Laluhan Daun, jika yang diantar atau diberikan sejenis daun untuk memasak nasi Kanihi khas masyarakat setempat

3. Laluhan Sapundu, berupa patung dari kayu tempat mengikat hewan-hewan kurban.

Di dalam angkutan air tersebut telah terdapat sejumlah orang yang memainkan alat musik tradisional setempat.

Alat musik tersebut seperti gong, kenong, babun, seruling, biola dan sebagainya, seraya bernyanyi dengan lagu khas masyarakat setempat.

Upacara Laluhan ini dilaksanakan menjelang pemindahan tulang belulang orang yang telah meninggal.

Seiring berkembangnya zaman, Laluhan mengalami perubahan bentuk dan makna.

Laluhan pada awalnya untuk mengantaran barang atau bantuan untuk keperluan upacara Tiwah (Laluhan Paramu Tiwah).

Namun kini Laluhan berubah menjadi atraksi budaya dalam mengantar tamu kehormatan (Laluhan Menambang Tamu).

Adapun dari perubahan makna Laluhan awalnya sebagai ungkapan rasa syukur Kepada Tuhan (Hattalla Langit).

Serta meminta kebaikan kepada tuhan agar roh orang yang sudah meninggal mendapat kebaikan hingga sampai ke surga (Lewu Tatau).

Namun sekarang ini makna Laluhan berubah sebagai rasa syukur dan meminta kebaikan serta keberkahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tak hanya itu, Laluhan juga bermakna untuk orang yang masih hidup agar terhindar dari kemalangan, kemiskinan, dan keterbelakangan. (*)

(Tribunkalteng.com/Nor Aina)

Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved