Viral Perjuangan Guru di Sampit Kalteng

VIRAL Video Guru di Kalteng Terjang Hujan Ngajar Pakai Perahu, Kisah Haru di Baliknya Ada yang Hamil

Viral video perjuangan guru honorer di Sampit Kotim Kalteng menyeberangi sungai dengan perahu mesin di tengah hujan deras.

Penulis: Herman Antoni Saputra | Editor: Haryanto
Tangkapan Layar Akun Tiktok/@mikasaacrkman
PERJUANGAN GURU - Tangkapan layar viral video dari akun Tiktok yang memperlihatkan perjuangan beberapa guru honorer di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menyeberangi sungai dengan perahu mesin di tengah hujan deras, beberapa waktu lalu. 

TRIBUNKALTENG.COM, SAMPIT – Sebuah video yang memperlihatkan perjuangan beberapa guru honorer di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menyeberangi sungai dengan perahu mesin di tengah hujan deras, viral di media sosial TikTok. 

Video itu diunggah akun @mikasaacrkman dan langsung menarik perhatian warganet.

Dalam keterangan videonya, pengunggah menyoroti betapa susah payah guru mengajar sering dianggap sepele. 

“Guru seefort ini buat ngajar malah dianggap beban,” tulis akun tersebut. 

Baca juga: Kepala Disdik Kotim Buka Suara Sulitnya Terpenuhi Kekurangan Guru Secara Penuh

Pemilik akun, Rabiyatul Dwi Andita, merupakan satu diantara guru honorer di SDN 6 Mentaya Seberang, Desa Ganepo, Kecamatan Seranau, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng). 

Ia membenarkan video tersebut menampilkan sembilan guru, termasuk kepala sekolah.

Selain itu, ada dua orang guru di antaranya sedang hamil muda tetapi tetap menjalankan tugas mengajar.

Setiap hari, para guru di SDN 6 Mentaya Seberang harus menempuh perjalanan panjang dan berat. 

Mereka berangkat dari Kota Sampit menempuh perjalanan darat sekitar 30 menit.

Mereka menyeberangi sungai menggunakan perahu kecil atau kelotok selama 20 menit.

Belum tiba, mereka berjalan kaki sekitar lima menit menuju sekolah. 

Hujan deras, angin kencang, atau terik matahari sama sekali tidak menyurutkan semangat mereka.

“Kalau panas ya kepanasan, kalau hujan ya kehujanan. Perahunya kecil, tanpa atap. Tapi tetap kami jalani, karena ini sudah menjadi tanggung jawab kami,” kata Dita kepada TribunKalteng.com, Rabu (20/08/2025).

Di sekolah ini terdapat sembilan guru, sebagian besar berdomisili di Kota Sampit, sehingga harus bolak-balik setiap hari. 

Sekitar 40 murid bergantung pada kehadiran guru-guru tersebut untuk belajar. 

Jika guru tidak hadir, kegiatan belajar-mengajar pun terhenti.

Sayangnya, perjuangan mereka belum sebanding dengan kesejahteraan yang diterima. 

Dari sembilan orang, hanya satu PNS, lima empat berstatus PPPK, sementara tiga lainnya masih berstatus honorer sekolah. 

Gaji yang diterima para guru honorer dianggap jauh dari cukup, terutama jika harus menanggung biaya transportasi harian.

“Kalau dihitung-hitung, jauh dari cukup. Semua biaya kami tanggung sendiri, mulai dari bensin hingga kebutuhan lainnya. Tapi tetap kami jalani,” ucap Dita. 

Di balik semua tantangan itu, Dita tetap menyimpan harapan. 

Dirinya berharap kesejahteraan guru honorer, khususnya yang bertugas di pedalaman, mendapat perhatian lebih dari pemerintah. 

Ia juga bertekad terus mendampingi anak-anak agar memiliki masa depan yang lebih cerah.

“Kita sebagai guru adalah akar dari generasi bangsa. Bagaimana mungkin pohon bisa berdiri kokoh tanpa akar? Jadi jangan menyerah untuk mencerdaskan anak-anak bangsa,” tegas Dita. 

Bagi Rabiyatul Dwi Andita, kebahagiaan seorang guru sejati adalah ketika melihat murid-muridnya berhasil meraih mimpi mereka, meski harus menembus hujan dan menyeberangi sungai setiap hari demi pendidikan anak-anak pedalaman. 

Sumber: Tribun Kalteng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved