Berita Palangkaraya

Aksi HPI 2025 di Kalteng, Perlawanan Perempuan Dayak Terhadap Kekerasan Lewat Tarian

Peringatan Hari Perempuan Internasional (HPI) 2025 serentak digela 6 wilayah, dibuka dengan tarian yang melambangkan perlawanan suku Dayak di Kalteng

Penulis: Ahmad Supriandi | Editor: Sri Mariati
Tribunkalteng.com/Ahmad Supriandi
ORASI - Aksi Serumi dalam rangka HPi 2025, dibuka dengan tarian yang melambangkan perlawanan suku Dayak di Kalteng serta orasi di Tugu Soekarno, Sabtu (8/3/2025). 

TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKA RAYA - Serikat Perempuan Indonesia (Seruni), melaksanakan aksi serentak di 6 provinsi yang berpusat di Palangka Raya Kalimantan Tengah dalam rangka Hari Perempuan Internasional (HPI) 2025. 

Aksi ini dibuka dengan tarian yang melambangkan perlawanan suku Dayak di Kalteng, Sabtu (8/3/2025). 

Tarian itu dibawakan tiga perempuan berpakaian khas suku Dayak. Lewat gerakan tubuh, mereka ingin menyampaikan bahwa perempuan itu tangguh dan punya peran dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. 

Ason, koregrafer tarian tersebut, mengungkapkan, perempuan Dayak juga terlibat dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. 

"Seperti mencari ikan di sungai atau berladang, jadi tarian itu menggambarkan bahwa perempuan Dayak dan di pedesaan itu bisa begotong royong, bekerja sama, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," jelasnya. 

Menurut Ason, lewat tarian itu, perempuan menunjukan perlawanan terhadap kekerasan dan ketidakadilan serta menunjukkan peran perempuan dalam keluarga juga besar. 

"Terutama perempuan-perempuan yang ada di desa, bagaimana mereka sekarang kesulitan mencari bahan pokok, listrik belum sampai ke desa, perempuan harus melawan itu semua," kata dia. 

Sementara itu, Sekjen Komite Eksekutif Seruni, Triana, mengatakan bahwa kondisi perempuan hari ini di Kalteng, secara umum tak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. 

Triana mengatakan, dengan populasi perempuan sekira 50 persen jumlah penduduk Indonesia, perempuan bisa menjadi tenaga produktif untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan kebudayaan. 

Namun, kata Triana, negara belum cukup memfasilitasi. Sehingga, perempuan dipandang tebelakang secara pengetahuan, hak pendidikan, serta kesehatannya juga belum maksimal diberikan. 

"Pemerintah tidak serius, negeri ini salah urus. Perempuan tidak diberikan hak demokratisnya, sehingga level pendidikannya masih rendah, secara ekonomi, politik dan kebudayaan juga masih terbelakang," ujarnya. 

Di Kalteng, tak sedikit perempuan belum digajih layak. Bahkan, ada yang menjadi buruh kebun dengan upah hanya Rp 900 ribu per bulan. Padahal, tenaganya telah diperas. 

Triana mengebut, hal itu sangat tidak manusiawi. Dengan banyaknya sumber daya alam di Kalteng, menurutnya masih belum sanggup membawa perempuan pada kesejahteraan, karena mayoritas lahan dikuasai oleh korporasi tambang dan sawit. 

"Kondisi perempuan masih terbelakang, dia diupah murah, tidak berpendidikan, tidak diberikan haknya, anak-anaknya tidak mendapat gizi baik, karena secara ekonomi, politik dan kebudayaan mereka masih terbelakang," ujar Triana. 

Menurut Triana, saat ini pemerintah masih belum memiliki kebijakan yang ramah perempuan. 

"Jika terus seperti ini, sekaya apapun negara kita, rakyat tetap miskin. Karena, kekayaan negara kita bukan untuk kepentingan rakyat," tegasnya.

Sumber: Tribun Kalteng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved