Setelah HET Dicabut, Stok Minyak Goreng Langsung Melimpah, Ada Apa? Ini Kata Pengamat & YLKI

Tidak perlu waktu lama stok minyak goreng terutama kemasan, melimpah lagi, setelah harga eceran tertinggi (HET) dicabut pemerintah

Editor: Dwi Sudarlan
Tribun Solo/Tri Widodo
Setelah lama langka, minyak goreng kembali melimpah setelah pemerintah mencabut harga eceran tertinggi (HET). 

Pernyataan YLKI

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi meminta pemerintah untuk memperketat pengawasan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng non premium seharga Rp 14.000.

Tulus melihat kebijakan terbaru pemerintah terhadap minyak goreng secara umum lebih ramah pasar, dan diharapkan hal ini bisa menjadi upaya untuk memperbaiki distribusi dan pasokan minyak goreng (migor) pada masyarakat dengan harga terjangkau.

"Sebab selama ini intervensi pemerintah pada pasar migor, dengan cara melawan pasar terbukti gagal total. Malah menimbulkan kekisruhan di tengah masyarakat," tutur Tulus dalam keterangannya.

Direktur Reskrimsus Polda Kalsel, Kombes Pol Suhasto (kanan) bersama Kabid Humas Polda Kalsel, Kombes Pol Mochamad Rifa’i menunjukkan barang bukti minyak goreng yang diduga ditimbun, Selasa (8/3/2022).
Direktur Reskrimsus Polda Kalsel, Kombes Pol Suhasto (kanan) bersama Kabid Humas Polda Kalsel, Kombes Pol Mochamad Rifa’i menunjukkan barang bukti minyak goreng yang diduga ditimbun, Selasa (8/3/2022). (banjarmasinpost.co.id/achmad maudhody)

Namun dari sisi kebijakan publik, ucap Tulus, YLKI sangat menyayangkan, terkait bongkar pasang kebijakan migor. Ia menyebutnya sebagai kebijakan coba-coba. Sehingga konsumen, bahkan operator menjadi korbannya.

 "YLKI mendesak pemerintah untuk memperketat pengawasan terkait HET migor non premium dengan harga Rp 14.000. Jangan sampai kelompok konsumen migor premium mengambil hak konsumen menengah bawah dengan membeli, apalagi memborong migor non premium yang harganya jauh lebih murah," ujar Tulus.

Tulus melihat idealnya subsidi minyak goreng sebaiknya bersifat tertutup atau by name by address, sehingga subsidinya tepat sasaran.

Sedangkan subsidi terbuka seperti sekarang berpotensi salah sasaran, karena migor murah gampang diborong oleh kelompok masyarakat mampu.

"Dan masyarakat menengah bawah akibatnya kesulitan mendapatkan migor murah. Pemerintah seharusnya belajar dari subsidi pada gas melon," ujar Tulus.

Sedangkan, menurut Tulus, YLKI terus mensesak KPPU untuk mengulik adanya dugaan kartel dan oligopoli dalam bisnis minyak goreng, CPO, dan sawit. YLKI juga mendesak pemerintah untuk transparan.

"Sebenarnya DMO 20 persen itu mengalir ke mana, ke industri migor, atau mengalir ke biodiesel. Sebab DMO 20 persen memang tidak akan cukup kalau disedot ke biodiesel. Dalam kondisi seperti skrg, CPO untuk kebutuhan pangan lebih mendesak, daripada untuk energi," imbuh Tulus.

Ditekan Konglomerat?

Sementara pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengungkapkan, kebijakan pemerintah terus berubah terkait ketersediaan dan harga minyak goreng.

Seperti diketahui awal tahun ini, pemerintah menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) sawit dari awalnya 20 persen, tidak lama menjadi 30 persen.

Kemudian, ada subsidi minyak goreng curah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), di mana pengawasannya lemah.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved