Bisnis dan Ekonomi
Diduga Ada Penyimpangan, Pembelian Solar Subsidi Dibatasi Maksimal 20 Liter per Hari
Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BPH Migas) mengeluarkan surat edaran ke Pertamina untuk melakukan pengaturan pengendalian pembelian jenis bahan ba
TRIBUNKALTENG.COM, JAKARTA - Pembelian jenis bahan bakar tertentu (JBT) yakni pada jenis solar bersubsidi, kini tak bisa lagi dilakukan hingga sampai 60 liter per hari.
Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BPH Migas) mengeluarkan surat edaran ke Pertamina untuk melakukan pengaturan pengendalian pembelian jenis bahan bakar tersebut.
Surat edaran yang berlaku efektif mulai 1 Agustus 2019 tersebut berisi tentang larangan pembelian solar bersubsidi bagi kendaraan pengangkutan hasil perkebunan, kehutanan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam, angkutan barang roda 4, serta kendaraan pribadi.
"Pembelian solar subsidi untuk angkutan barang roda 4 maksimum 30 liter per hari, roda 6 sebanyak 60 liter per hari, dan kendaraan pribadi 20 liter per hari," kata Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa, Jakarta, Rabu (21/8/2019).
• Angkut 10 Drum Berisi Solar Tanpa Dokumen, Kapal Kayu Diamankan di Perairan Mantangai Kapuas
• Putaran Kedua Liga 1 2019, Hasnuryadi Sulaiman Pilih Djadjang Nurdjaman Tukangi Barito Putera
• Zodiak Hari Ini Kamis 22 Agustus 2019: Leo Jangan Cuek, Scorpio Bosan, Capricorn Lagi Optimis
Pria yang akrab disapa Ifan ini menambahkan, pengawasan dalam menggunakan solar subsidi akan melibatkan banyak pihak seperti Pemerintah Daerah, Polri, dan TNI.

Penyebab
Langkah tersebut dilakukan guna mengurangi potensi over kuota bahan bakar jenis Solar bersubsidi.
Sebab, berdasarkan hasil verifikasi BPH Migas, realisasi volume solar hingga Juli 2019 sebanyak 9,04 juta kilo liter (KL) dari kuota tahunan yang tersedia 14,5 KL (sudah mencapai 62 persennya).
"Ada potensi over kuota sebesar 0,8 sampai 1,4 juta KL hingga akhir tahun."
"Sehingga berdasarkan amanat Undang-undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, kami melakukan penindakan," kata Ifan.
Ifan menduga, over kuota ini disebabkan adanya ketidakpatuhan dalam penyaluran jenis BBM tertentu kepada konsumen pengguna.

"Ada potensi kecurangan atau penyelewengan penggunaan BBM bersubsidi ini, yakni untuk kebutuhan perkebunan dan tambang."
"Jadi benar-benar kita perketat betul dengan berkoordinasi banyak pihak," katanya.
Daerah yang diduga mengalami over kuota di antaranya Riau, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan.
"Dengan adanya pembatasan ini, dipercaya hingga akhir tahun tidak akan terjadi over kuota."
"Lalu ada pihak yang mendapat pengecualian seperti untuk kebutuhan perikanan atau nelayan di beberapa wilayah tertentu," ujar Ifan. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com