Putusan Banding Ujang Iskandar
Pengamat Hukum Nilai Ada Kejanggalan Kasus Korupsi Mantan Bupati Kobar Kalteng Ujang Iskandar
Praktisi dan pengamat hukum di Kalteng, Parlin B Hutabarat menilai, terdapat beberapa kejanggalan dalam putusan tersebut.
Penulis: Ahmad Supriandi | Editor: Haryanto
TRIBUNKALTENG.COM, PANGKA RAYA - Praktisi dan pengamat hukum di Kalimantan Tengah (Kalteng), menyoroti putusan banding dalam kasus korupsi yang melibatkan mantan Bupati Kotawaringin Barat (Kobar), Ujang Iskandar.
Putusan Pengadilan Tinggi Palangka Raya dengan nomor 6/Pid.Sus.TPK/2025 menjatuhkan vonis 5 tahun penjara kepada Ujang Iskandar atas kasus korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 754.065.976 atau Rp 754 juta lebih.
Sebelumnya, Ujang Iskandar divonis pidana penjara selama 3 tahun.
Putusan tersebut dibacakan hakim ketua Muhammad Ramdes di PN Tipikor Palangka Raya, Kamis (2/1/2024).
Baca juga: Breaking News - Putusan Banding Mantan Bupati Kobar Kalteng Ujang Iskandar, Hakim Tambah Hukuman
Untuk diketahui, kasus yang menyeret nama mantan anggota DPR RI Fraksi Nasdem ini, melibatkan dua orang lainnya yang sebelumnya telah menjadi terpidana, yakni Reza Andriadi selaku Direktur PD Agro Mandiri dan Daniel Aleksander Tamebaha selaku Direktur PT Aleta Danamas.
Yang menarik, dalam putusan banding yang dikeluarkan pada Selasa (11/2/2025), Ujang Iskandar tidak dibebani kewajiban membayar uang pengganti karena terbukti tidak menikmati aliran dana dari kerugian negara tersebut.
Praktisi dan pengamat hukum di Kalteng, Parlin B Hutabarat menilai, terdapat beberapa kejanggalan dalam putusan tersebut.
"Pertanggungjawaban pidana terhadap Ujang Iskandar yang didasarkan pada posisinya sebagai Pemegang Saham (RUPS) Perusahaan Daerah PD Agro Mandiri hanya karena menyetujui pencairan bank garansi adalah sebuah kesimpulan yang terlalu jauh atau jumping conclusion," ujar Parlin, Jumat (14/2/2025).
Parlin menjelaskan, berdasarkan Perda Kabupaten Kobar Nomor 12 Tahun 2009, struktur organisasi PD Agro Mandiri menempatkan Direksi bertanggung jawab langsung kepada Dewan Pengawas, bukan kepada RUPS.
"Jika terjadi kelalaian investasi antara Perusda dengan pihak swasta, seharusnya Dewan Pengawas juga turut bertanggung jawab secara hukum," tegasnya.
Lebih lanjut, Parlin menyoroti penilaian kerugian negara terkait penyertaan modal APBD dalam kerjasama penjualan tiket pesawat.
Menurutnya, kasus ini perlu dianalisis dari unsur mens rea (niat jahat) dan actus rea (perbuatan jahat).
Parlin mengatakan, kegagalan usaha yang dilakukan PT Aleta Danamas seharusnya menjadi tanggung jawab Direktur PD Agro Mandiri selaku mitra, mengingat wewenang untuk menyepakati perjanjian kerjasama ada pada level direktur.
Parlin memperingatkan, kalau RUPS dikenakan tanggungjawab pidana akibat kelalaian ataupun kesalahan Direktur, maka dalam kasus ini bisa menjadi preseden negatif bagi kepala daerah lainnya, bila terjadi kegagalan usaha yang dikelola oleh Perusda.
Padahal, kata dia, doktrin ilmu hukum yang lazim, bahwa pemegang saham tidak memiliki kewenangan perbuatan langsung atau aksi terkait dengan jalannya sebuah perusahaan.
"Catatan penting lainnya, Ujang Iskandar tidak menerima aliran dana dari kasus ini,
sehingga ini menjadi sangat gamblang bahwa kasus pidana ini merupakan bentuk kriminalisasi kebijakan kepada seorang Bupati yang ex officio pemegang saham Perusda," tutup Parlin.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.