Gus Miftah Sebut Subsidi Silang & Selalu Bawa Banyak Uang Soal Isu Tarif Dakwah Capai Rp 3 Miliar
Menurut Gus Miftah, ada beberapa pihak seperti orang kaya maupun instansi tertentu, memiliki budget dalam mendatangkan tamu
TRIBUNKALTENG.COM - Ramai di medsos, tarif dakwah-nya mencapai Rp 3 miliar, Gus Miftah justru menyebut subsidi silang dan selalu bawa banyak uang di pedalaman.
Kabar tarif dakwah Gus Miftah sebesar miliaran rupiah bahkan mencapai Rp 3 miliar menjadi perbincangan para netizen.
Polemik pun terjadi, antara pihak yang meyayangkan dan pihak yang memahami bila tarif dakwah Gus Miftah bisa mencapai Rp 3 miliar.
Menyikapi polemik tersebut, Gus Miftah yang bernama asli Miftah Maulana Habiburrahman ini langsung memberi tanggapan.
Baca juga: Kelakuan Ayu Ting Ting Efek Digoda Raffi Ahmad, Momen di Acara TV Ruben Onsu Cs ini Viral Lagi
Baca juga: Pamer Ngaji, Aldi Taher Justru Kena Sentil Gus Miftah: Bacaan Qurannya Banyak Salah!
Namun, tanggapan Gus Miftah yang pernah membimbing Deddy Corbuzier menjadi seorang muslim, tidak secara tegas membantah atau membenarkan rumor tarif dakwah dirinya mencapai Rp 3 miliar.
Dia justru menyebut soal subsidi silang dan selalu bawa banyak uang ketika mendapat undangan berceramah atau berdakwa di daerah terpencil atau pedalaman.
Menurut Gus Miftah, ada beberapa pihak seperti orang kaya maupun instansi tertentu, memiliki budget dalam mendatangkan tamu.
Termasuk apabila instansi atau orang tersebut ingin dirinya atau pendakwah hadir dalam acara yang mereka gelar
Artinya, pihak yang mengundang Gus Miftah sudah menyiapkan uang dan tak keberatan untuk membayar mahal.
"Saya bilang begini sama manajer saya, 'kalau kamu diundang lembaga, perusahaan, orang kaya, kamu jual saya murah kamu salah'," kata Gus Miftah, dilansir Tribun Style dari YouTube Populer Seleb pada Jumat, 8 Oktober 2021.
Namun berbeda cerita apabila dirinya diundang hadir di suatu daerah terpencil.
Gus Miftah sendiri mengaku punya ritual khusus saat datang ke acara di pedalaman.
"Tapi kalau diundang di desa, pegunungan, daerah pantai, daerah pedalaman, kamu minta bayar, kamu juga salah," katanya.
Gus Miftah selalu menyediakan uang tunai untuk dibagikan pada masyarakat di sana yang membutuhkan.
"Maka di situlah berlaku subsidi silang. Kita bicara saja dong, saya diundang calon bupati, '
Gus monggo datang ke tempat saya pengajian, ini gimana', 'seikhlasnya' kan go*lok,"
"Anda bisa cek, saya selalu bawa uang cash banyak ketika saya ngaji di lapangan.
Tujuan saya adalah untuk subsidi kepada masyarakat yang ada di pedesaan," pungkas Gus Miftah.
Bolehkah pasang tarif dakwah agama
Bolehkan Ustadz memasang tarif saat berdakwah? Ustaz Nashih Nashrullah pada 2013 lalu pernah mengulasnya dalam satu tulisan.
Berceramah merupakan satu dari sekian aktivitas berdakwah yang mulia; menyampaikan pesan dan menyebarkan syiar di hadapan ratusan, ribuan, bahkan jutaan umat manusia.
Ada misi berharga di sana. Tetapi, dinamika dunia dakwah pun berkembang. Ini beriringan dengan perkembangan teknologi dan lain sebagainya.
Tak sedikit oknum pendakwah pada akhirnya terjebak dalam logika materi. Berdakwah pun sekaligus berbisnis. Seperti, memasang tarif tertentu atas jasa ceramahnya. Bolehkah memasang tarif untuk jalan dakwah?
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Hasanuddin AF mengatakan, dari segi hukum Islam, pada prinsipnya diperbolehkan menerima imbalan jasa atas ceramah atau mengajarkan ilmu agama lainnya, seperti pengajaran Alquran.
Akan tetapi, ia menggarisbawahi imbalan tersebut bukan tujuan utama. Dan, agar tarif tersebut tetap tidak melampaui batas kewajaran. Motif paling mendasar kala berdakwah adalah niat untuk Allah SWT semata.
Selain itu, memberlakukan tarif berdakwah, justru akan menghilangkan pahala dakwah itu sendiri. “Jika niatnya bisnis dan dibisniskan, itu tidak boleh,” ujarnya.
Ia pun mengutip hadis riwayat Umar bin Khatab tentang pentingnya meluruskan niat segala urusan akan dikembalikan pada sejauh manakah niat dan motif yang bersangkutan. Bila sebatas dunia maka pahala tak ia dapat. Sebab, hanya dunia yang ia peroleh.
Ia pun mengimbau para pendakwah agar tidak mematok tarif. Tindakan pemasangan tarif, justru berpotensi merusak citra dakwah tersebut.
Ia mengusulkan agar sanksi sosial dijatuhkan pada oknum-oknum pematok tarif dakwah. “Jangan diundang lagi,” katanya.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Prof Syamsul Anwar mengingatkan para pendakwah agar tetap ikhlas dan tidak memasang tarif.
Meskipun, ia menegaskan tidak ada larangan untuk memasang tarif untuk dakwah, tetapi hendaknya menghindari komersialisasi tersebut.
Menurutnya, pemasangan tarif kaitannya dengan kebiasaan yang berlaku. Semestinya, iltizam dini atau ketaatan terhadap syariat, dengan tidak mengedepankan tarif, lebih ditekankan oleh yang bersangkutan. Kalaupun hendak memasang tarif, sewajarnya saja. “Masyarakat punya penilaian tersendiri,” katanya.
Komersialisasi
Sementara Ketua Lajnah Bahtshul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU) KH Zulfa Mustofa menyatakan, menurut perspektif agama, secara etika seorang ulama tidak boleh meminta bahkan memasang tarif.
Memang, mayoritas ulama memperbolehkan penerimaan upah dari pengajaran ilmu agama, tetapi tidak dengan cara mematok tarif.
“Tidak pantas meminta apa pun alasannya,” ujar alumnus Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa Tengah, asuhan KH Sahal Mahfuz tersebut.
Menurutnya, komersialisasi itu tak terlepas dari pengaruh media, terutama televisi. Tingkat rating akan dijadikan alasan untuk meningkatkan tarif dakwah seseorang. Padahal, sikap semacam ini bisa mengancam kekekalan pahala.
Ia pun teringat nasihat Sang Guru, KH Sahal Mahfuz yang berpesan, 'Allim majjanan kama ‘ullimta majjanan (Ajarkanlah ilmu secara ikhlas, sebagaimana engkau dididik secara gratis). Tak lupa, ia sampaikan ajakan agar para ulama mengingatkan oknum pendakwah manapun yang mematok tarif.
Fikih klasik
Dalam kajian fikih klasik, rujukan persoalan ini bermuara pada topik pengambilan upah atas pengajaran Alquran. Menurut kelompok yang pertama, tidak boleh menerima atau membisniskan pengajaran ilmu agama tak terkecuali Alquran.
Opsi ini berlaku di sejumlah mazhab, antara lain Hanbali di salah satu riwayat, Zaidiyyah, dan Ibadhiyyah. Sedangkan, Imamiyyah melihat hukumnya makruh selama ada syarat sejak awal.
Pihak ini berdalih, mengajarkan ilmu syariah dan Alquran merupakan bakti yang tak berpamrih, hanya Allah SWT-lah yang akan membalasnya. Kebutuhan akan pelajaran ilmu agama dan Alquran sama pentingnya dengan urgensi mengajarkan shalat. Berbagi ilmu shalat merupakan hal mendasar, tak boleh diperjualbelikan.
Ini ditegaskan di banyak ayat, seperti surah an-Najm ayat 39, al-Qalam ayat 46, dan Yusuf ayat 104. Pandangan ini diperkuat oleh hadis riwayat Ubay bin Ka’ab.
Dalam sabda itu, Rasulullah SAW memperingatkan seorang sahabat yang menerima hadiah atas pengajaran Alquran yang dilakukannya. “Jika engkau ambil maka sejatinya engkau telah mengambil satu kurung api neraka,” titah Rasul.
Riwayat Ubadah bin as-Shamit menegaskan larangan senada. Secara jelas larangan itu dipertegas pula dalam hadis Abdurrahman bin Syibil. “Jangan engkau cari makan darinya dan jangan pula mencari keuntungan,” sabda Nabi.
Tak sepakat dengan kelompok yang pertama, menurut kubu yang kedua, hukum mengambil upah dari mengajarkan ilmu agama atau Alquran ialah boleh dan tak jadi soal selama tidak mematok harga tertentu.
Pemasangan tarif terhadap aktivitas ini akan menghilangkan pahala dan keutamaannya. Pendapat itu merupakan opsi yang didukung oleh sejumlah ulama mazhab, yaitu generasi kedua dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali menurut salah satu riwayat, dan Zhahiri.
Dalil yang dijadikan dasar oleh kubu kedua, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas. Hadis ini mengisahkan izin Rasulullah atas upah seorang sahabat yang telah membacakan ruqyah untuk warga yang terkena sengatan ular. “Sesungguhnya, upah yang paling pantas bagimu ialah upah atas (pembacaan dan pengajaran) Alquran,” sabda Rasul.
Argumentasi selanjutnya ialah kisah yang dinukilkan di riwayat Sahal bin Sa’ad. Rasul mengabulkan pernikahan sahabatnya dengan mahar bacaan Alquran.
Tak sedikit generasi salaf yang memberikan upah bagi para pengajar Alquran, seperti Umar bin Khatab. Sosok berjuluk al-Faruq itu memberi upah dari kocek pribadinya kepada tiga pengajar Alquran di Madinah.
Sa’ad bin Abi Waqash dan Amar bin Yasar memiliki tradisi mengupah para pembaca Alquran selama Ramadhan. Imam Malik pun pernah menegaskan, tak jadi soal menerima upah atas pengajaran ilmu agama, termasuk Alquran.
“Aku belum pernah mendengar satu pun ulama yang melarangnya,” kata pencetus Mazhab Maliki itu. (*)
Artikel ini telah tayang di BanjarmasinPost.co.id dengan judul Tarif Ceramah Gus Miftah Diisukan Sampai Rp 3 Miliar, sang Ustadz Akhirnya Beri Penjelasan,
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kalteng/foto/bank/originals/tribunkaltengcom-gus-miftah-bersama-deddy-corbuzier.jpg)