Kabar Kalsel
Pimpinan Ponpes Al Anwar Pulangkan Santrinya, Sungai Riam Batajau HSS Jadi Jadi Wisata
Santri Pondok Pesantren Al Anwar sendiri sebagian besar sana merupakan mantan pecandu narkoba. Bahkan, pesantren ini juga digunakan sebagai rehabilita
TRIBUNKALTENG.COM, BARABAI - Pimpinan pondok pesatren Al Anwar, Syarkawi, akhirnya menutup operasional pondok di Desa Batu Tunggal Kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel, sejak Rabu (7/8/2019), dan memulangankan 30 santri ke tempat asalnya.
Syarkawi memilih hengkang dari Pondok Pesantren yang sudah dibangunnya sejak 2008 silam.
Santri Pondok Pesantren Al Anwar sendiri sebagian besar sana merupakan mantan pecandu narkoba. Bahkan, pesantren ini juga digunakan sebagai rehabilitasi bagi pecandu.
• Kumpulan Ucapan Idul Adha 1440 H/2019, Kumpulan 70 Kata Mutiara untuk Facebook, WA dan IG
• Download Lagu Adu Rayu, Lagu Adu Rayu MP3 Yovie feat Glenn Fredly & Tulus Catat Lirik Lagu Adu Rayu
• Pulau Telo Kapuas Dilirik Jadi Tempat Wisata, Investor Brunei Darussalam Siap Kucurkan Dana
• Kabar PHK Massal Karyawan NET TV Trending Topic, Ini Penjelasan dan Bantahan Pihak Manajemen
• Ada yang Beda dengan Idul Fitri, Ini Amalan Sunah Sebelum dan Setelah Shalat Idul Adha
Dibeberkan Syarkawi dari 30 santri, 60 persen diantaranya merupakan mantan pecandu narkoba yang ingin sembuh dan terbebas dari narkoba.
Bahkan, kebanyakan santrinya berasal dari luar daerah seperti Kalimantan Timur dan Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan.
Penutupan pesantren dilakukan sebagai buntut kekecewaan terparahnya karena hasil mediasi tak digubris oleh pengelola Wisata Riam Betajau.
Bahkan, sudah ada dua kali mediasi antara pihak pesantren dan pengelola Wisata Riam Betajau. Hasilnya, buntu.
Mediasi pertama dilakukan di Kecamatan Batu Benawa pada 11 Juli lalu. Mediasi juga menghasilkan berbagai keputusan. Seperti tidak membuka wisata selama dua bulan atau selama izin belum tersedia.
Sayangnya, hanya sembilan hari dari dari mediasi pertama, warga justru membuka wisata tersebut.
Ia sempat bingung mengapa wisata dibuka. Padahal, hasil mediasi tersebut ditandatangi oleh Camat Batu Benawa dan Danramil Batu Benawa.
"Saya memang tidak hadir saat mediasi pertama. Kami ingin melihat. Parahnya, dari kami yang boleh berbicara hanya satu orang. Sedangkan dari pihak wisata tiga orang. Ini kan ganjil. Saya melihat dari video. Lengkap dan detil tetap janggal," cetusnya.
Syarkawi pun melaporkan kejadian ini ke Polres dan Koramil. Sayangnya selama setengah bulan tidak ada tindakan.
Sempat dihentikan proses pembangunan wisata serta pembukaan wisata, kecamatan menyerah untuk melakukan mediasi.
Alhasil pada 5 Agustus lalu, mediasi kedua dilakukan di Kantor Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Mediasi kedua Syarkawi juga kecewa. Bahkan, sebelum mediasi ia sempat menemui Bupati Hulu Sungai Tengah di Pendopo Bupati. Ia menyerahkan 200 tanda tangan penolakan pembukaan wisata dari Desa Baru.
Di Desa Baru 200 petisi itu ditandatangani oleh warga dari RT 01 sampai RT 07. Sedangkan Wisata Riam Betajau berada di RT 08.

Sebanyak 200 tandatangan tersebut belum termasuk petisi penolakan dari warga Desa Tunggal. Wisata Riam Betajau berada di perbatasan Desa Baru Kecamatan Batu Benawa dengan Desa Batu Tunggal Kecamatan Hantakan.
"Saat menyerahkan petisi itu saya kaget. Bupati ngomong seperti ini, kok menolak ada pembakalnya. Mengurus perizinan juga ada tandatangan pembakalnya. Menolak iya, mengizinkan iya," ujarnya menirukan ucapan Bupati Hulu Sungai Tengah A Chairansyah.
Sontak ucapan bupati membuatnya kaget. Ia sempat menduga jika bupati bercanda. "Ternyata serius," katanya.
Setelah adanya mediasi kedua, ia bertambah kecewa. Hasilnya Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah menghendaki adanya uji coba wisata selama tiga bulan.
Menurutnya, wisata dan pesantren sulit untuk berdampingan. Apalagi, pondok pesantren tempatnya belajar.
Disisi lain, santrinya merupakan mantan pecandu. Dengan dibukanya wisata, ia khawatir jika santrinya akan kembali ke jalur yang tidak baik.
Penolakannya bukan tanpa alasan. Ia mencatat ada tiga poin mengapa pihaknya menolak keras.
Yakni gangguan dari adanya wisata. Apalagi, ada kegiatan belajar mengajar yang jarak terdekat pondok berada 15 meter dari wisata. Suara wisatawan akan mengganggu proses belajar mengajar.
Selain itu, pihaknya juga terganggu karena sungai sebagai tempat aktivitas santri mulai dari mandi hingga mencuci pakaian.
"Kalau buang air ada tempatnya. Mandi kadang mereka di sungai karena kalau barengan kamar mandi tak cukup. Masa mereka mandi dan mencuci di sebelahnya ada wisata. Apalagi, kalau air mati santri berwudhu di sungai," bebernya.
Terganggu lainnya yakni mengenai kedamaian pesantren. Apalagi, posisi pesantren yang di pinggir sungai bakal membuat wisatawan naik. "Belum lagi hiburan musik," jelasnya.
Poin kedua yakni etika bangun wisata. Ia menyoal membangun wisata harus ada etikanya. "Masa bangun wisata di depan pesantren," retorisnya.
Poin terakhir yakni mengenai keyakinan kiblat pesantren dan wisata yang tak bisa berdampingan. "Kami juga berkonsultasi dengan KH Mukhtar. Memang tidak bisa," katanya.
Alih-alih penolakannya diterima. Ia justru ditawari bergabung dengan wisata. "Urusan saya banyak dengan santri. Ditawari gabung," kesalnya.
Tak hanya itu, mediasi juga tak menggubris semua penolakannya melainkan jenis wisata air nantinya. Mulai dari wisata religi hingga wisata Islami.
"Memangnya kalau wisata air mau dipisah antara perempuan dan laki-laki. Kan tidak mungkin," ujarnya.
Meski demikian, mediasi juga menunggu keputusan bupati. Sayangnya, belum turun keputusan bupati terkait hal ini, Syarkawi memilih pergi.
Ia memilih tinggal di Pesantren yang ada di Kintap Kecamatan Tanah Laut.
Bahkan, jika keingingannya tak dipenuhi agar wisata disana ditutup, ia bakal memilih tempat lain untuk bermukim.
"Nasib santri saya ya dipulangkan. Nanti ketika saya buka pesantren lagi mereka mau kembali saya menerimanya dengan senang hati," katanya.
Jika wisata tetap dibuka, ia memilih tinggal di Kabupaten lain. "Biar saya pindah. Biar tahu bagaimana Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang katanya daerah agamis," katanya.
Jika pergi ia jelas meninggal aset miliknya mulai dari lahan pesantren yang mencapai enam borongan hingga bangunan pesantren. Apalagi, tanah pesantren merupakan warisan dari neneknya.
"Saya akan kemabali apabila bupati resmi menutup wisata itu dengan hitam di atas putih. Kalau tidak menutup saya pindah ke tempat lain," tegasnya. (banjarmasinpost.co.id/wie)