Hari Sumpah Pemuda

Kisah di Balik Lahirnya Sumpah Pemuda, Patungan Beli Kopi sampai Cerita Cinta

Para pelajar menyewa gedung itu dengan tarif 12,5 gulden per orang setiap bulan, atau setara 40 liter beras waktu itu.

Editor: Mustain Khaitami
GRID.ID
Naskah Sumpah Pemuda. 

TRIBUNKALTENG.COM - Indonesia kembali memperingati Sumpah Pemuda.

Setiap tahun, melekat di ingataan warga mengenai aksi pemuda yang melahirkan gagasan brilian.

28 Oktober 1928 tepatnya. Saat itu pemuda yang kita kenal dengan Jong Ambon, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes berkumpul merumuskan ide besar.

Baca: Sumpah Pemuda - Remake Naskah Sumpah Pemuda Ala KPK, Begini Jadinya

Mereka saat itu masih sangat muda. Sekitar 20an. Bahkan ada yang masih di bawah 18 tahun.

Mengobrol bisa dalam bahasa Belanda karena mengenyam pendidikan Belanda, bahasa daerah masing-masing, atau bahasa Melayu - bahasa pergaulan masa itu.

Tak ada yang bermain mobile legend, COC, apalagi sampai syuting video klip aneh.

Saat itu, teknologi memang belum semaju saat ini.

Belum ada Android atau iOS secangkih saat ini.

Meski begitu, pemikiran mereka maju, sangat maju.

Mereka punya visi yang efeknya bisa dinikmati sampai saat ini.

Baca: Inilah Naskah Otentik Sumpah Pemuda yang tak Kita Ketahui, Lihat Bedanya

Dipicu gerakan mahasiswa Indonesia di Belanda, para pemuda di Hindia Belanda pun mulai berbicara soal kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan di antara sesama warga jajahan.

Sekat-sekat kedaerahan mulai dikikis.

Mereka mulai menggelar Kongres Pemuda I, 30 April – 2 Mei 1926 di Jakarta.

Beberapa kali pidato tentang pentingnya Indonesia bersatu bergaung di sini.

Disampaikan pula tentang upaya-upaya memperkuat rasa persatuan yang harus tumbuh di atas kepentingan golongan, bahasa, dan agama.

Kongres pertama ini belum melahirkan sebuah ikrar bersama. Namun para pemuda masa itu mulai tak sungkan untuk melakukan kegiatan bersama.

Baca: Bikin Merinding, Ini Kata Soekarno Tentang Pemuda

Dua tahun kemudian, dilaksanakan Kongres II Pemuda Indonesia, pada 27 dan 28 Oktober 1928.

Persidangan yang dilaksanakan sebanyak tiga kali diantaranya membahas persatuan dan kebangsaan Indonesia, pendidikan, serta pergerakan kepanduan.

c

Dari sini lahirlah Sumpah Pemuda.

Setidaknya ada lima kisah unik di balik Sumpah Pemuda yang dirangkum dari berbagai sumber.

Patungan Beli Kopi

Museum Sumpah Pemuda, gedung Kramat 106 menjadi tempat tinggal pelajar yang tergabung dalam Jong Java sejak 1925.

Tercatat Muhammad Yamin, Aboe Hanifah, Amir Sjarifuddin, A.K. Gani, Mohammad Tamzil, atau Assaat dt Moeda, pernah tinggal di sana.

Para pelajar menyewa gedung itu dengan tarif 12,5 gulden per orang setiap bulan, atau setara 40 liter beras waktu itu.

Setiap malam para mahasiswa ini berdiskusi soal berbagai hal sampai larut malam.

Jika sudah capai, mereka akan patungan duit untuk mencari kopi plus sate atau mencari soto ke Pasar Senen yang tak jauh dari kos-kosan mereka.

Baca: Membanggakan! Ikrar Sumpah Pemuda dari Sembilan Lokasi, Termasuk di Luar Negeri

Obrolan pun berubah, ke hal-hal yang ringan.

Jika ada ujian, tentu diskusi dan perdebatan terhenti dulu.

Semua masuk kamar dan belajar. Nah, untuk mendinginkan pikiran, selepas tengah malam mulai terdengar bunyi-bunyian.

Amir Sjarifudin mulai menggesek biolanya, memainkan gubahan Schubert atau sonata yang sentimentil.

Begitu juga Abu Hanifah mengambil biola, memainkan lagu yang sama. Suara biola bersahut-sahutan.

Tentu tak semua bisa begitu. Muhammad Yamin yang sedang diburu-buru Balai Pustaka untuk menterjemahkan Rabindranat Tagore merasa terganggu.

Ia pun berteriak meminta Amir dan Abu diam. Eh, bukannya diam, Amir dan Abu malah makin asyik menggesek biola. Yamin semakin berteriak-teriak. Amir dan Abu ketawa terbahak-bahak.

Ganti Rapat dengan Menari

S.K. Trimurti, satu diantara tokoh pergerakan masa itu menulis sebuah cerita unik di buku Bunga Rampai Soempah Pemoeda (Balai Pustaka, 1978).

Menurutnya dalam tulisan itu, ada trik khusus agar rapat organisasi pemuda yang dianggap radikal oleh Belanda tidak dibubarkan paksa polisi.

Suatu ketika, para pemuda hampir ditangkap polisi karena menggelar rapat, tapi akhirnya lolos.

Jadi, ketika polisi hendak menggrebek, para peserta rapat berganti sikap. Rapat yang serius berganti jadi acara tari-menari dansa-dansi.

Musiknya, cukup pakai mulut saja menirukan suara gamelan.

Kisah Cinta W.R. Soepratman

Soepratman dikenal sebagai wartawan yang suka bermain musik dan kongko-kongko dengan para pemuda di markas Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia di Kramat Raya 106.

Ia mengenal musik sejak usia 11 tahun. Pada 1938, ia pernah dibui Belanda. Usai dibebaskan, Soepratman sakit-sakitan.

Dalam kondisi kian hari kian parah, ia ditemani Kasan Sengari, iparnya, dan Imam Supardi, Pemimpin Redaksi Penyebar Semangat.

Kepada Imam, Soepratman curhat bahwa hidupnya tidak bahagia karena percintaan.

Soepratman memang tidak menikah. Tapi Imam tidak menanyakan lebih lanjut, khawatir karibnya makin sedih.

Dalam catatan Kusbini, karib sesama komponis, Soepratman kerap datang ke warung Asih di Kapasari atau warung Djurasim di Bubutan, Surabaya, untuk menghibur diri membunuh sepi.

Namun di warung itu pun ia cuma melamun ditemani kue dan secangkir kopi.

W.R. Soeprratman menutup rahasia hidupnya dalam Taman Asmara, tulis Kusbini suatu kali.

Taman Asmara adalah istilah Kusbini untuk patah hati sahabatnya.

Sayang hingga akhir hayatnya, Soepratman meninggal tengah malam 17 Agustus 1938, persoalan cinta itu tetap jadi teka-teki hingga sekarang.

Muhammad Yamin Sodorkan Kertas

Saat itu, Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato di sesi terakhir kongres.

Sebagai sekretaris, Yamin yang duduk di sebelah kiri ketua menyodorkan secarik kertas pada Soegondo sembari berbisik, "Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie" (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini).

Soegondo lalu membaca usulan resolusi itu, memandang Yamin. Yamin tersenyum. Spontan Soegondo membubuhkan paraf setuju.

Soegondo lalu meneruskan kertas ke Amir Sjarifudin. Dengan muka bertanya-tanya, Amir menatap Soegondo. Soegondo membalas dengan anggukan. Amir pun memberi paraf setuju. Begitu seterusnya sampai seluruh utusan organisasi pemuda menyatakan setuju.

Sumpah itu berbunyi:

Pertama: Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea: Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga: Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Sumpah itu awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang lebar oleh Yamin. Setelah disahkan, ikrar pemuda itu jadi tonggak bersatunya bangsa Indonesia.
 

Sumber: Grid.ID
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved