Amplop Sudah Jadi Tradisi

Pemerintah akhirnya menetapkan ‘uang terimakasih’ yang biasa diterima penghulu terkait pencatatan nikah masuk dalam katergori

Editor: Edinayanti
net
demo penghulu 

TRIBUNKALTENG.COM, BANJARMASIN - Pemerintah akhirnya menetapkan ‘uang terimakasih’  yang biasa diterima  penghulu terkait pencatatan nikah masuk dalam katergori suap alias gratifikasi. Uang yang diterima wajib dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Praktik penerimaan honor, tanda terima kasih, atau pengganti uang transport dalam pencatatan nikah adalah gratifikasi sebagaimana dalam pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor,”  tegas Giri Supradiono, Direktur Gratifikasi KPK, usai rakor dengan Kementerian Koordinator Kesra, Kemenag, Kemenkeu, Bappenas dan KPK, di Jakata, Rabu (18/12).

Para penghulu di Banua menanggapi beragam hasil kesepakatan tersebut. Mereka tetap ngotot akan menerima jika diberi oleh pihak mempelai. “Pihak mempelai memberi dengan ikhlas. Lain halnya, kalau sampai menentukan tarif, itu yang melanggar aturan,” kata H Arifin, penghulu di kawasan Banjarmasin Tengah.

Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Banjarmasin Tengah, ini mengakui para penghulu menerima amplop berisi uang sukarela yang diberikan oleh pihak pengantin. Uang transport atau uang terimakasih itu diberikan secara ikhlas oleh masyarakat yang meminta pelayanan jasa penghulu.

Menurut Arifin, tunjangan yang diperoleh seorang penghulu terbilang sedikit yakni Rp 490 ribu per bulan. Dia mengakui kerap menerima uang amplop dari warga yang memerlukan jasanya sebagai penghulu.

“Nilainya tidak besar. Dari hanya Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu. Pokoknya beragam dan tidak tentu,” urainya.

Dia tidak mempermasalahkan adanya larangan menerima amplop meski itu akan mempengaruhi pendapatannya. “20 tahun jadi penghulu, selama itu saya mau diberi syukur dan tidak diberi juga tidak apa-apa,” katanya.

Arifin berharap jika larangan itu diberlakukan, harus ada penggantian uang transport dan uang profesi di luar kerja. “Bila sudah ada ketentuannya kita terima. Bila tidak ada, ya, jalankan apa yang ada saja dulu,” cetusnya.

H Yuseran, penghulu di kawasan Banjarmasin Barat, mengaku belum tahu larangan menerima amplop. “Sementara belum ada ketentuan kita tetap jalan seperti apa adanya. Bila ada intruksi kita siap jalankan,” cetus Ketua KUA Banjarmasin Barat itu.

Di Banjarmasin sedikitnya ada sekitar 50an penghulu. Satu kelurahan memiliki satu penghulu untuk melayani masyarakat.

Syaibaini Alkan, Kepala KUA Muaraharus, Kabupaten Tabalong mengatakan, larangan menerima amplop bagi penghulu akan sulit diterapkan, Pasalnya, amplop berisi ‘terima kasih’ sudah menjadi tradisi di masyarakat yang berlangsung sejak dulu.

Disebutkan dia, bukan hanya sekadar menikahkan, warga kerap menyerahkan semua pengurusan ke pihak KUA, mulai menyetor biaya pencatatan nikah sampai menikahkan. Dari tradisi itulah, dimana semua urusan diserahkan ke KUA maka muncul kebiasaan memberi uang sebagai ucapan terimakasih.

Yang jelas, imbuh dia, selama ini pihaknya tidak pernah meminta apalagi sampai mengenakan tarif di luar ketentuan. Warga hanya diminta membayar biaya pencatatan sebesar Rp. 30 ribu yang semestinya sesuai aturan disetorkan sendiri oleh yang bersangkutan.

Kalau kemudian pemberian itu digolongkan gratifikasi, Syabaini menyatakan bisa menerima. “Jujur saja saya tidak bisa memastikan apakah itu memang gratifikasi atau bukan,” sergahnya.

Urus Sendiri

Berangkat dari persoalan itu, masyarakat pun harus mengurus sendiri proses pernikahan ke KUA sesuai aturan. “Nikah harus di KUA kecuali ada kesepakatan,” kata Syaibani.

Dalam satu bulan, pernikahan di wilayahnya hanya terjadi lima kali. Pemberian yang dilakukan masyarakat bervariasi dan pemberian bukan semata-mata hanya untuk petugas tetapi sudah termasuk biaya resmi.

“Biaya pencatatan nikah Rp30 ribu, kalau ada yang bilang sampai Rp 500 ribu itu darimana?” tandasnya.

Menurut dia, tidak semua setiap prosesi pernikahan penghulu diberi amplop. Tidak sedikit pihaknya malah membayarkan pasangan yang nikah.

M Raihan Fuady, penghulu di KUA Tanjung mengatakan pihaknya tidak pernah meminta dan memasang tarif jasa pencatatan nikah. Pemberian uang pada pelaksanaan pernikahan sudah menjadi semacam tradisi di masyarakat.

“Biasanya warga memberi sebagai ucapan terimakasih, dan itu sudah menjadi kebiasaan warga,” ujarnya.

Diakuinya, pemberian dari keluarga yang menikah sedikit membantu keuangannya. Apalagi untuk bekerja dirinya harus menempuh jarak sekitar 60 kilometer setiap harinya. “Kalau pemberian itu dikatakan gratifikasi, mungkin banyak penghulu yang memilih jadi staf saja,” katanya.

Dia menyatakan siap hal ini benar-benar ditetapkan sebagai gratifikasi. Dia berharap jika itu diterapkan harus ada solusi atau kebijakan yang bisa membantu penghulu dan KUA.

(kur/dny)
 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved